Pergantian tahun artinya pergantian usia pada diri seseorang. Makin bertambah usianya makin dekat pula pada kematian karena batas maksimal hidup seseorang akan semakin susut dengan bergantinya tahun. Lalu apa yang telah kita lakukan selama ini? Sudah cukupkah bekal kita untuk menuju yaumul hisab kelak di hadapan Allah SWT. Marilah coba kita sama-sama renungkan sejenak.
Sebentar lagi kita akan menemui bulan baru, bulan Muharram. Sebuah penanggalan Islam yang merupakan penanda awal pergantian tahun. Tahun yang baru menemui kita itu artinya tahun yang lama pula kita tinggalkan. Apakah tahun kemarin kita tinggal dengan amalan yang sholeh atau sebaliknya? Renungkanlah sejenak.
Bukanlah dengan perayaan yang bermegah meriah dan berdecak serba mewah ataupun perayaan kembang api sebagaimana orang-orang di luar Islam, bukan pula dengan amalan-amalan yang tidak ada contohnya dari nabi maupun para sahabat meski itu kelihatan Islami, seperti melaksanakan doa di awal dan di akhir tahun, berpuasa di awal dan di akhir tahun misalnya, karena nabi Muhammad SAW, Umar, Usman, Abu Bakar, Ali, dan para sahabat memang tidak pernah mencontohkan perihal perayaan menyambut tahun baru (Hijriyah). Perayaan-perayaan tersebut hanyalah bentuk tiruan dan hanya sekedar menandingi kemeriahan tahun baru Masehi yang banyak dirayakan orang di luar Islam. Padahal bentuk penyerupaan sesuatu terhadap mereka adalah terlarang sebagaimana sabda Rasul Muhammad SAW, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”
Bulan Muharram adalah satu dari empat bulan haram. Bulan yang diharamkan melakukan perbuatan kemaksiatan dan anjuran memperbanyak amalan ketaatan. I ni bukan berarti di luar bulan tersebut boleh melakukan kejahatan. Bulan yang di dalamnya sangat dianjurkan melaksanakan amalan-amalan istimewa, yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab. Oleh karena itu bulan Muharram termasuk bulan haram. Firman Allah, ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Jangan merasa yakin dulu dengan amalan bisa menghapuskan dosa-dosa yang telah kita perbuat di masa lalu, siapa tahu ternyata amalan kita tidak seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Maka dari itu berseringlah menghisab diri sendiri terhadap segala hal yang tercela sebelum kecelakaan mendatangi kita pada hisab yang sebenarnya, karena tanda-tanda orang yang celaka itu di antaranya,1) tidak mengingat ingat dosa yang telah lalu, padahal dosa-dosa itu tersimpan disisi Allah SWT . 2) Menyebut nyebut segala kebaikan yang telah diperbuat padahal siapa pun tidak tahu apakah kebaikan kebaikan itu diterima atau ditolak. 3) Memandang orang yang lebih unggul dalam soal duniawi. 4) Memandang orang yang lebih rendah dalam hal agama.
Saudaraku, cukuplah kiranya teladan dari Rasulullah Muhammad SAW saja, bahwa di dalam Muharram ada contoh amalan puasa sunnah yang tak kalah utama dari puasa Ramadhan, dan puasa Arafah. Bukan penyambutan yang gegap gempita dalam penyambutan awalnya namun kosong dalam pemaknaan di dalamnya. Artinya jika ingin mencontoh rosul maka beramallah di dalam bulan Muharram dengan amalan kesalehan sebanyak-banyaknya, Karena pada bulan-bulan ini kita memperoleh kesempatan mendapat pahala yang sebesar-besarnya.
Berbeda dengan tradisi pada sebagian masyarakat yang justru berpantang segala sesuatu di dalam bulam Muharram atau biasa disebut bulan Syuro. Mereka menganggap tabu melakukan aktifitas karena bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa melakukan sesuatu di bulan yang dianggap keramat adalah bentuk penentangan atau melanggar adat. Sebuah ironi yang selama ini berkembang di masyarakat yang sudah saatnya kita berikan pemahaman kepadanya. Sejarah mencatat segala peristiwa penting di masa lampau bagi kemenangan umat Islam justru seringkali terjadi dan dilakukan di bulan Muharram. Kemenangan nabi dalam perang, kemerdekaan Indonesia melawan penjajah serta peristiwa lain.
Dari paparan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa menyambut perayaan datangnya tahun baru apalagi sampai bermegah-megahan bukanlah contoh dari Rasul maupun para sahabatnya, namun yang pantas kita teladani adalah memaknai bulan Muharram sebagai awal tahun sekaligus awal kita menambah pundi kebaikan. Isilah sepanjang waktu dengan kegiatan yang bermanfaat karena Rasul bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.” ( HR Ahmad). Waktu berjalan demikian cepatnya. Apabila bernanti-nanti dalam beramal baik belum tentu besok Allah akan mempertemukan kita dengan amalan tersebut, karena waktu adalah rahasia Allah dan kita sebaik-baik penggunanya. Memang selayaknya demikian.
Akhirnya kita pantas merenungi ucapan Hasan Al Bashri yang mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang pula sebagian darimu.” Manfatakanlah masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa lapangmu sebelum masa sempitmu dengan suatu amalan yang bisa menjadikan bekal kita untuk memperberat timbangan kebaikan kelak di yaumul hisab. Wallahu’a’lam bishawab. (adi)
No comments:
Post a Comment