Hukum-hukum yang berkaitan
dengan Ahludz dzimmah
Oleh
Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz
(dalam
buku Al Jami’ li Thalabi ‘Ilmisy Syarief)
Pembahasan
ini juga termasauk pembahasan yang mengalami penyelewengan pada jaman ini yang
dilakukan oleh sebagian orang, kadang penyelewengan itu atas nama ijtiad dan
pembaharuan, dan kadang dengan alasan toleransi agama. Dengan dengan
penyelewengan-penyelewengan mereka, meereka manghapus hukum-hukum yang telah
ditetapkan berdasarkan al-qur’an, as-sunnah dan ijma’.
Pertama
seorang pelajar harus tahu definisi Ahludz dzimmah dan perlakuan terhadap
mereka di dalam darul Islam pada masa dahulu samapa gugurnya hukum-hukum khusus
yang berlaku bagi mereka bersamaan dengan berkuasanya undang-undang buatan
manusia menggantikan hukum-hukum syari’at.
Pertama; definisi Ahludz dzimmah.
Adapun
tentang definisi Ahludz dzimmah Ibnul Qoyyim berkata: “Orang-orang kafir itu
(ada dua macam, yaitu), ahlul harbi (musuh peperangan) atau ahlul ‘ahdi (yang
mengadakan perjanjian damai). Sedangkan Ahlul ‘Ahdi ada tiga macam; Ahludz
dzimmah, ahlu hudnah (gencatan senjata) dan ahlu amaan (yang mendapat jaminan
keamanannya). Dan para fuqoha’ telam membuat satu bab tersendiri untuk setiap
macamnya. Mereka menyebutkan bab al-hudnah, bab al-amaan, bab akad dzimmah.
Kata al-dzimmah dan al’ahdu pada asalnya mencakup mereka semuannya, dan begitu
juga kata ash-shulhu. – sampai beliau mengatakan – akan tetapi istilah ahludz
dzimmah di kalangan kebanyakan fuqoha’ menjadi sebuah istilah untuk orang-orang
yang membayar jizyah, dan mereka inilah yang mendapatkan hak dzimmah (jaminan,
tanggungan) yang kekal. Mereka ini telah berjanji kepada kaum muslimin untuk
diberlakukan pada mereka hukum Alloh dan Rosul-Nya, karena mereka tinggal di
dalam negara yang diberlakukan hukum Alloh dan rosulNya.
Beda
halnya dengan ahlul hudnah (gencatan senjata), mereka berdamai dengan kaum
muslimin dengan tetap tinggal di dalam negeri mereka, sama saja apakah
perdamaian itu ditukar dengan harta atau tidak. Kepada mereka tidak diberlakukan
hukum Islam sebagaimana ahludz dzimmah, akan tetapi mereka harus menghentikan
peperangan terhadap kaum muslimin. Mereka ini dinamakan ahlul ‘ahdi, ahlush
shulhi dan ahlul hudnah.
Adapun
al-musta’min (orang yang mendapat jaminan keamanan); adalah orang yang datang
ke negara Islam dan tidak bertempat tinggal di sana. Mereka ini ada empat
macam; para utusan, para pedagang, mustajiirun (orang-orang yang meminta
keamanan) supaya mereka mendapatkan penjelasan tentang Islam dan al-Qur’an,
jika mereka mau mereka masuk Islam dan jika tidak mereka kembali ke negeri
mereka dan orang-orang yang memohon untuk menyelesaikan kebutuhan seperti
kunjungan atau yang lainnya. Hukum bagi mereka adalah hendaknya mereka tidak
boleh diperangi, tidak boleh dibunuh, tidak dipungut jizyah dan bagi mustajiir
dijelaskan kepada mereka tentang Islam dan Al-Qur’an, jika mereka mau masuk
Islam maka hal itu baik dan jika mereka ingin kembali ke tempat mereka mereka
dipersilahkan dan dia dibiarkan sabelum ia sampai kepada tempatnya dan jika telah
sampai maka statusnya kembali menjadi harbi (musuh) lagi, sebagaimana
sebelumnya.” (Ahkam Ahludz Dzimmah karangan Ibnul Qoyyim II/475-476)
Kedua; Hukum-hukum yang berkaitan dengan Ahludz
Dzimmah di daarul Islam.
Adapun
perlakuan kepada mereka di negari-negari Islam adalah mewajibkan mereka untuk
membayar jizyah (yaitu uang senilai tertentu yang dibayarkan oleh laki-laki
yang telah baligh di antara mereka setiap tahun), berlaku syari’at Islam kepada
mereka dan mereka diwajibkan memenuhi syarat-syarat atau perjanjian yang telah
ditetapkan oleh kholifah Umar. Hal itu sebagai ganti mereka tinggal di daarul
Islam dengan jaminan keamanan terhadap nyawa dan harta mereka.
Kebanyakan
buku fikih menyebutkan syarat-syarat yang ditetapkan Umar tersebut, dan disini
kami nukilkan perkataan Ibnul Qoyyim ra.,:
قال عبدالله بن
الإمام أحمد: حدثني أبو شرحبيل الحمصي عيسى بن خالد قال: حدثني عمر أبو اليمان
وأبو المغيرة قالا: أخبرنا إسماعيل بن عياش قال: حدثنا غير واحد من أهل العلم
قالوا: كتب أهل الجزيرة إلى عبدالرحمن بن غنم: «إنا حين قدمت بلادنا طلبنا إليك
الأمان لأنفسنا وأهل ملتنا على أنا شرطنا لك على أنفسنا ألا نحدث في مدينتا كنيسة،
ولا فيما حولها ديراً ولا قلاية ولا صومعة راهب، ولا نجدد ماخرب من كنائسنا ولا
ماكان منها في خطط المسلمين، وألا نمنع كنائسنا من المسلمين أن ينزلوها في الليل
والنهار، وأن نوسع أبوابها للمارة وابن السبيل، ولانؤوي فيها ولا في منازلنا
جاسوساً، وألا نكتم غشاً للمسلمين، وألا نضرب بنواقيسنا إلا ضرباً خفياً في جوف
كنائسنا، ولانظهر عليها صليباً، ولا نرفع أصواتنا في الصلاة ولا القراءة في
كنائسنا فيما يحضره المسلمون، وألا نخرج صليباً ولا كتاباً في سوق المسلمين، وألا
نخرج باعوثاً ــ قال: والباعوث يجتمعون كما يخرج المسلمون يوم الأضحى والفطر ــ
ولاشعانين، ولا نرفع أصواتنا مع موتانا، ولا نظهر النيران معهم في أسواق المسلمين،
وألا نجاورهم بالخنازير ولاببيع الخمور، ولا نظهر شركاً، ولا نرغّب في ديننا،
ولاندعو إليه أحداً، ولانتخذ شيئاً من الرقيق الذي جرت عليه سهام المسلمين، وألا
نمنع أحداً من أقربائنا أرادوا الدخول في الإسلام، وأن نلزم زيّنا حيثما كنا، وألا
نتشبه بالمسلمين في لبس قلنسوة ولا عمامة ولا نعلين ولا فَرْق شعر ولا في مراكبهم،
ولا نتكلم بكلامهم، ولانكتنى بكناهم، وأن نجز مقادم رؤوسنا ولانفرِق نواصينا، ونشد
الزنانير على أوساطنا، ولا ننقش خواتمنا بالعربية، ولانركب السروج، ولانتخذ شيئاً
من السلاح ولانحمله، ولانتقلد السيوف، وأن نوقر المسلمين في مجالسهم ونرشدهم
الطريق، ونقوم لهم عن المجالس إن أرادوا الجلوس، ولانطلع عليهم في منازلهم،
ولانعلم أولادنا القرآن، ولايشارك أحد منا مسلماً في تجارة إلا أن يكون إلى المسلم
أمر التجارة، وأن نضيف كل مسلم عابر سبيل ثلاثة أيام ونطعمه من أوسط مانجد. ضَمنا
لك ذلك على أنفسنا وذرارينا وأزواجنا ومساكيننا، وإنْ نحن غيَّرنا أو خالفنا عما
شرطنا على أنفسنا، وقَبِلْنا الأمان عليه، فلا ذمة لنا، وقد حل لك منّا مايحل لأهل
المعاندة والشقاق».
“Abdulloh
bin Ahmad berkata, Abu Syarohbil Al-Himshi Isa bin Kholid mengkabarkan kepada
kami, dia mengatakan; Umar Abul Yaman dan Abul Mughiroh berkata mengkabarkan
kepada kami, keduanya berkata; Isma’il bin Iyasy mengkabarkan kepada kami, ia
berkata; lebih dari seorang ulama’ mengkabarkan kepada kami, mereka mengatakan;
Penduduk Jaziroh menulis sholat kepada Abdur Rohman bin Ghonam, yang berisi;
Sesungguhnya ketika anda datang ke negeri kami, kami meminta kapada anda
jaminan keamanan untuk nyawa kami dan para pemeluk agama kami, yaitu kami
berjanji tidak akan membangun gereja yang berada di dalam negeri kami, juga
tidak membangun disekitar gereja biara, tempat uskup dan tempat pendeta, kami
tidak akan memperbaharui gereja kami yang roboh dan tidak pula yang menjadi
perencanaan orang-orang Islam, kami tidak akan melarang orang Islam untuk
singgah di gereja kami baik siang maupun malam, kami akan perluas pintunya bagi
orang yang lewan dan musafir, kami tidak akan melindungi seorang mata-mata
dalam gereja atau dalam rumah kami, kami tidak menutupi penipuan kepada
orang-orang Islam, kami tidak akan memukul lonceng kecuali pelan-pelan di dalam
gereja kami, kami tidak akan menampakkan salib, kami tidak akan mengeraskan
do’a dan bacaan kami di gereja yang dihadiri orang-orang Islam, kami tidak akan
mengeluarkan salib dan kitab di pasar orang-orang Islam, kami tidak akan keluar
untuk ba’uuts – dia berkata; ba’uuts adalah mereka berkumpul sebagaimana
orang-orang Islam pada hari raya idul adl-ha dan idul fith-ri – dan tidak pula
sya’anin, kami tidak akan mengeraskan suara kami ketika ada kematian diantara
kami, kami tidak menampakkan api bersama mereka di pasar orang Islam, kami
tidak akan bertetangga dengan mereka dengan memelihara babi, kami tidak akan
menjual khomer, kami tidak akan menampakkan kesyirikan, kami tidak menawarkan
agama kami, kami tidak mengajak seseorangpun masuk agama kami, kami tidak akan
mengambil budak yang menjadi bagian orang-orang Islam, kami tidak akan melarang
seorangpun dari kerabat kami yang mau masuk Islam, kami akan selalu mengenakan
pakaian kami di manapun kami berada, kami tidak akan menyerupai orang-orang
Islam dalam memakai peci, sorban, sandal, membelah rabut dalam bersisir dan
kendaraan, kami tidak berbicara dengan bahasa mereka, kami tidak membuat
kuniyah (nama sebutan) dengan kuniyah yang mereka gunakan, kami akan
memendekkan rambut depan kami dan tidak membelah rambut kami dalam bersisir,
kami akan mengenakan sabuk pada tengah badan kami, kami tidak akan mengukir
cincin kami dengan menggunakan bahasa arab, kami tidak akan naik kereta kuda,
kami tidak akan menyandang dan membawa senjata, kami tidak akan menenteng
pedang, kami akan menghormati orang-orang Islam dalam majlis dan menunjukkan
jalan kepada mereka, dan kami akan berdiri dalam sebuah majlis jika mereka mau
duduk, kami tidak meninggikan rumah kami melebihi rumah mereka, kami tidak akan
mengajari Al-Qur’an kepada anak-anak kami, kami tidak akan turut campur
perdagangan orang muslim kecuali orang muslim tersebut membutuhkannya, dan kami
akan menjamu orang muslim yang dalam perjalanan selama tiga hari dan kami akan
menghidangkan makanan yang biasa kami dapatkan.
Kami
menjamin bahwa kami, anak-anak kami, istri-istri kami dan orang-orang miskin
kami akan melaksanakan itu semua. Dan jika kami merubah atau menyelisihi
syarat-syarat yang telah kami tetapkan kepada diri kami untuk mendapatkan
jaminan keamanan, maka tidak ada dzimmah lagi bagi kami, dan halal
memperlakukan kami sebagaimana memperlakukan orang yang membangkang dan
menentang.”
Maka Abdur
Rohman bin Ghonam menulis surat kepada Umar bin al-Khothob ra., tentang hal
itu. Dalam isi surat itu disebutkan: “Berlakukanlah apa yang mereka minta, dan
tambahkan dua huruf pada syarat-syarat yang mereka tetapkan untuk diri mereka
sendiri itu, yaitu mereka tidak boleh membeli budak-budak kami (budak muslim)
dan barang siapa memukul seorang muslim, ia telah membatalkan janjinya.”
Maka Abdur
Rohman bin Ghonam pun melaksanakan nya, dan membiarkan orang Romawi yang
tinggal di kota-kota Syam dengan syarat-syarat tersebut.
Ibnul
Qoyyim berkata: “Kemasyhuran syarat-syarat ini menjadikannya tidak perlu lagi
meneliti sanadnya, karena sesungguhnya para ulama’ menerimanya dan
menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka. Mereka berhujjah dengannya dan mereka
senantiasa menyebutkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh kholifah Umar ini
dengan lisan dan kitab-kitab mereka. Dan setelah itu para kholifah setelahnya
melaksanakannya dan membuat konsekuensi-konsekuensinya.” (Ahkam Ahlidz Dzimmah
karangan Ibnul Qoyyim II/657-664, cet. Daarul ‘Ilmi Lil Malayin 1983 M.
Syarat-syarat
yang ditetapkan oleh Kholifsh Umar itu berisi beberapa permasalahan;
- Di antaranya yang berkaitan dengan hukum tempat
peribadahan mereka (gereja dll) dan apa-apa yang terkait dengannya.
- Diantaranya hal-hal yang berkaitan dengan
menyembunyikan symbol-simbol agama mereka.
- Diantaranya yang berkaitan dengan hal-hal
yang membedakan mereka dengan kaum muslimin dalam berpakaian, model rambut dan
kendaraan.
- Diantaranya yang berkaitan dengan hal-hal
membahyakan Islam dan kaum muslimin yang harus mereka tinggalkan.
- Diantaranya hal-hal yang berkaitan dengan hukum
menjamu tamu yang lewat.
- Diantaranya halhal yang berkaitan dengan kewajiban
untuk tidak memuliakan mereka dan mereka harus dalam keadaan hina sebagaimana
yang disyari’atkan Alloh.
Permasalahan
ini saya nukil dengan perubahan dari
kitab Ahkam Ahlidzd Dzimmah karangan Ibnul Qoyyim II/665-666 dan dari kitab
Iqtidlo’ush Shirothol Mustaqim, karangan Ibnu Taimiyah, cet. Al-Madani, hal.
121-123.
Ada dua
permasalahan mendasar mana dzimmah itu tidak akan ada tanpa ada keduanya, yang
tidak disebutkan dalam syarat-syarat yang ditetapkan oleh Kholifah Umar, yaitu
membayar jizyah dan berlakunya hukum Islam atas mereka. Ibnu Qudamah Al-Hambali
ra., berkata: “Dan membuat akad dzimmah yang kekal itu tidak boleh kecuali
dengan dua syarat: peryama; mereka harus membayar jizyah setiap tahun, dan yang
kedua; mereka mengikuti hukum Islam dan mereka menerimak apa yang diputuskan
terhadap mereka berupa kewajiban dan meninggalkan yang haram, berdasarkan
firman Alloh:
حتى يُعطوا
الجزية عن يدٍ وهم صاغرون
Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan hina. (QS. 9:29)
(Al-Mugh-ni MA’asy Syarhil Kabir X/572) dan
kehinaan itu berupa melaksanakan syari’at Islam yang berlaku atas mereka. Hal
ini disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dan yang lainnya (Ahkam Ahlidz Dzimmah I/24)
Ibnu
Taimiyah menyebutkan syarat-syarat yang dittetapkan oleh Kholifah Umar ini
dengan sanad shohih, lihat Ash-Shorimul Maslul, hal. 208 dan Iqtodlo’ush
Shirothil Mustaqim, hal. 120. Dan Ibnu Taimiyah berkata: “Dan syarat-syarat ini
sangat masyhur dalam kitab-kitab ilmu dan fikih, dan secara umum hal ini
merupakan ijma’ di kalangan ulama’ yang diikuti, sahabat-sahabat mereka dan
seluruh imam. Seandainya tidak masyhur dikalangan para fuqoha’ pasti kami
sebutkan perkataan setiap kelompok ulama’ tersebut.” (Iqtidlo’ush Shirothil
Mustaqim, hal. 121) Dan Ibnu Taimiyah juga berkata: “Dan syarat-syarat ini
senantiasa diperbaharui pelaksanaannya oleh para penguasa kaum muslimin yang
diberi petunjuk oleh Alloh.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/654)
Perlakuan
ini terus berjalan di dalam negeri-negeri Islam sesuai dengan syarat-syarat
tersebut sepanjang masa. Dan para ahli sejarah menyebutkan dalam buku-buku
mereka tentang pembaharuan yang dilakukan oleh para penguasa kaum muslimin
terhadap syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh kholifah Umar ini dalam
pelaksanaannya terhadap ahludz dzimmah. Sebagai contoh lihat dokumen Sultan
An-Nashir Muhammad bin Qolawun tentang pembaharuan perjanjian yang telah
ditetapkan oleh kholifah Umar terhadap ahludz dzimmah pada tahun 700 H.
Al-Qolaosyandi dalam kitab Shubhul A’sya XIII/378,387.
Ketiga; Perubahan yang terjadi pada hukum-hukum
yang berkaitan dengan ahludz dzimmah di dalam negara-negara sekuler.
Perlaluan
tersebut terus berjalan sampai akhir abad ke 12 hijriyah – pertengahan abad ke
19 masehi – ketika keadaan daulah utsmaniyah kacau dan daerangnya meluas serta
berbelok kearah sekuler dengan bentuk yang bermacam-macam seperti menjalankan
undang-undang positif sebagai pengganti hukum syari’at, dan menggambil system
demokrasi barat yang memberikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat sebagai
pengganti kekuasaan hukum Alloh dalam Islam. Diantara dampak sekulerisasi ini
adalah membangun negara berdasarkan nasionalisme, (yang itu berarti menyam
aratakan kepada semua penduduk di dalam hak dan kewajiban tanpa memandang
kepada identitas agama) sebagai pengganti identitas agama yang menjadi landasan
pembagian pemduduk kepada arang Islam dan ahludz dzimmah. Dan inilah meng
menjadi akhir berlakunya hukum-hukum yang berkaitan dengan ahludz dzimmah dan
hilanglah istilah ahludz dzimmah ini dalah undang-undang sekuler yang membangun
pemikiran nasionalisme di dalam seluruh negara kaum muslimin pada hari ini.
Sehingga orang muslim yang bukan penduduknya diperlakukan sebagai orang asing
dalam waktu yang bersamaan orang kafir yang menjadi penduduknya diperlakukan
sebagaimana penduduk negeri yang lain dalam semua hak.
Seorang
penulis perempuan Dr. Samiroh Bahr mengatakan – dalam menerangkan perkembangan
keadaan di sebuah negeri seperti mesir – “Pemerintahan Islam berlalu bergantian
dengan perlakuan yang secara umum tidak bisa dikatakan jelek kecuali dua hal.
Pertama; pembayaran jizyah yang merupakan salah satu simbul negara teokrasi
(ditambah lagi tidal diijinkannya mereka membawa senjata, dan tidak diterimanya
kesaksian mereka terhadap orang Islam dalam peradilan…). Dan yang kedua;
penghancuran gereja yang itu merupakan perbuatan orang-orang awam dan gembel
ketika melakukan pemberotakan, kemudian orang-orang nasran tidak diijinkan
untuk membangun kembali gereja-gereja mereka atas perintang penguasa muslim.
Dan disebutkan dalam perjanjian yang dinisbahkan kepada kholifah Umar bin
Al-Khothob; “Dan kalian sama sekali tidak diperbolehkan untuk menampakkan salib
di daerah-daerah orang Islam dan kalian tidak boleh membangun gereja dan tempat
untuk beribadah dan kalian tidak boleh memukul lonceng.” – sam pai perempuan
itu mengatakan: “Dan kehidupan bangsa Qobthi terus berkembang menuju kehidupan
modern bersama saudara-saudar muslim mereka khususnya, dan gubernur Sa’id –
penguasa Mesir – memasukkan mereka ke tengah-tengah negeri karena dia ingin
mengeluarkan bangsa turki dari jabatan-jabatan yang berkaitan dengan kebudayaan
dan peperangan. Kemudia memulai untuk mengandalkan orang-orang mesir dan
membukak secara luas untuk orang-orang mesir dalam tugas-tugas kenegaraan dan
ketentaraan. Pemecatan-pemecatan di mesir ini mengakibatkan sirnanya penghalang
pelurusan antara unsure-unsur mesir dengan keluarnya keputusan diterimanya
orang-orang nasrani sebagai tentara dan berlakunya pelayanan ketentaraan kepada
mereka. Maka perintah tertinggi yang dikeluarkan pada bulan Jumadal Ulaa 1272
H. bahwasanya “Semua bangsa Qithbi akan diajak untuk membawa senjata mengikuti
jejak umat Islam, hal itu untuk menjaga prinsi kesamaan (hak dan
kewajiban-pent.) Dan sebelumnya telah dikeluarkan perintah untuk menghapus
jizyah yang diwajibkan kepada ahlidz dzimmah pada bulan desember 1855 M. –
sampai dia mengatakan – dan pada masa Al-Khodiwi Ismail juga telah ditunjuk
hakim dari bangsa Qithbi dalam lembaga pengadilan sebagaimana yang telah kami
singgung. Dan ini tidak kurang pentingnya dari pada peran majlis
perundang-undangan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan penghapusan lembaga
pengadilan dahulu yang sebelumnya hanya terbatas pada hakim-hakim Islam dan
diangkatnya pengadilan-pengadilan pribumi sebagai penggantinya. Maka
pengangkatan hakim itu tidak boleh memandang kepada agamanya supaya terbentuk
sebuah pengadilan yang ditaati oleh orang-orang mesir dengan tanpa memandang
agama juga. Dua hal tersebut (madrasah-madrasah amiriyah terbuka untuk semua
orang-orang mesir dan mengangkat hakim di lembaga pengadilan dari bangsa
Qibthi) menunjukkan bahwa ini adalah permulaan pembangunan lembaga-lembaga
negara berdasarkan dasar nasionalisme dan atas dasar kebudayaan sekuler.”
(Dinukil dari kitab Al-Aqbath Fil Hayah As-Siyasiyah Al-Misriyah, karangan Dr.
Samiroh Bahr, cet. Maktabah Al-Anjalu Al-Misriyah, cet. Ke 2, 1984, hal.
35-38). Perkataan ini penting untuk ditampilkan untuk memaparkan sejarah, namun
pengarang buku tersebut mengatakan perkataan kekafiran yaitu perkataannya bahwa
jizyah itu urusan yang jelek padahal itu adalah perintah Alloh dalam firmanNya:
حتى يُعطوا
الجزية عن يدٍ وهم صاغرون
Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan hina. (QS. 9:29)
Akan
tetapi saya tidak tahu dia itu orang Islam atau orang nasrani. Begitu juga
perkataannya tentang membangun kembali gereja, ini tidak ada syari’atnya dan
diremehkan pemerintah Islam. Secara detail terdapat dalam Majmu’ Fatawa
XXVIII/632 dan halaman setelahnya.
Dan dengan
gugurnya jizyah dari tanggungan ahludz dzimmah dan dengan persamaan status
mereka dengan kaum muslimin, yang hal itu berarti menyelisihi syarat-syarat
yang telah ditetapkan oleh Umar, maka ikatan janji mereka telah batal dan
mereka kembali menjadi orang-orang kafir harbi (musuh). Asy-Syaukani berkata:
“Penetapan dzimmah mereka disyaratkan dengan pembayaran jizyah dan pelaksanaan
syarat-syarat yang ditetapkan kaum muslimin untuk mereka. Maka jika syarat
tersebut tidak terpenuhi, mereka kembali kepada keadaan mereka sebelumnya yaitu
mubah darah dan harta mereka. Ini adalah permasalahan yang telah dimaklumi dan
tidak ada perselisihan. Di akhir perjanjian yang telah ditetapkan oleh kholifah
Umar disebutkan: Jika mereka menyelisihi syarat yang telah ditetapkan kepada
mereka, maka tidak ada dzimmah lagi bagi mereka maka halal bagi kaum muslimin
untuk melakukan memperlakukan mereka sebagaimana mereka memperlakukan orang
kafir yang membangkang dan menentang.” (AS-Sailul Jarror karangan Asy-Syaukani
IV/574) dan telah disebutkan sebelumnya perkataan Ibnu Qudamah yang semakna
dengan perkataan ini.
Sama saja
apakah pembatalan perjanjian dzimmah itu dari arah mereka
(ahludz dzimmah) atau dari arah pemerintah yang kafir sebagaimana yang
dilakukan oleh Al-Khodiwi Sa’id dan orang-orang yang memerintah Mesir setelah
dia. Ini tidak mempengaruhi hasilnya, sesungguhnya nyawa dan hartanya tidak
dijamin keamanannya oleh kaum muslimin kecuali dengan jaminan keamanan yang
syah dari mereka. Maka jika tidak ada jaminan keamanan, gugurlah hilanglah
keamanannya. Dan ini adalah contoh untuk apa yang terjadi diberbagai negeri
kaum muslimin.
Sebagian
orang lagi membawa syubhat lain dengan mengataka: “Apakah dosa mereka – ahlul
kitab – karena mereka tidak mengadakan akad dzimmah itu bukan karena mereka
tidak mau akan tetapi karena tidak adanya daulah Islam, bisa jadi kalau ada
mereka akan masuk menjadi ahludz dzimmah?
Jawab;
Sesungguhnya
syubhat ini batil karena ini termasuk berhujjah dengan taqdir yang batil.
Karena tegak dan runtuhnya daulah Islam itu adalah taqdir Alloh, jika ada
daulah maka akan ada hukum-hukum tertentu yang menyertainya dan jika runtuh
maka hilanglah hukum-hukum yang menyertai keberadaannya tersebut. Syubhat ini
seperti orang yang mengatakan; apa dosa orang kafir yang hanya taqlid kepada
kedua orang tuanya, bisa jadi kalau kedua orang tuanya muslim, ia akan masuk
Islam juga. Ini semua sudah ditaqdirkan oleh Alloh, dan syari’at idak bisa
dibantah dengan taqdir Alloh. Sebagaimana orang-orang yang Alloh cela dalam
firmanNya:
وإذا قيل لهم
أنفقوا مما رزقكم الله، قال الذين كفروا للذين آمنوا أنطعم من لو يشاء الله أطعمه،
إن أنتم إلا في ضلال مبين
Dan apabila dikatakan kepada
mereka:"Nafkahkanlah sebagian dari rizki yang diberikan Allah
kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang
beriman:"Apakah Kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah
menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam
kesesaatan yang nyata". (QS. 36:47)
Mereka
berhujjah dengan taqdir (yaitu; sesungguhnya Alloh menghendaki menghendaki
orang tesebut kelaparan, kalau Alloh menghendaki pasti Alloh memberikan makan
kepadanya) untuk membantah syari’at (yaitu; perintah untuk berinfaq dan
bersedekah). Lalu Alloh menyatakan sesat orang yang berhujjah dengan alasan
seperti ini. Alloh berfirman:
إن أنتم إلا في
ضلال مبين
tiadalah kamu melainkan dalam kesesaatan yang nyata
Begitu
juga orang-orang yang membawa syubhat ini mereka berhujjah dengan dengan taqdir
(yaitu; kenhendak Alloh atas sirnanya daulah Islam) untuk membantah syari’at
(yaitu; bahwa orang kafir yang tidak ada ikatan perjanjian darah dan hartanya
mubah), maka kami jawab mereka dengan firman Alloh:
إن أنتم إلا في
ضلال مبين
tiadalah kamu melainkan dalam kesesaatan yang nyata
Saya
tambahkan bahwa digugurkannya hukum-hukum yang berkaitan dengan ahlidz
dzimmah di suatau negara seperti mesir,
telah mendapat sambutan dan kelegaan yang besardari orang-orang nasrani. Hal
itu diikuti dengen perlawanan mereka terhadap pangdangan Islam apapun pada
pemerintahan sekuler di mesir dimulai dari serangan mereka terhadap pemikiran
konfransi Islam yang diserukan oleh Jamaluddin Al-Afghoni pada akhir abad ke 19
Masehi dan berakhir dengan penolakan mereka terhadap pelaksanaan hukum-hukum
Islam terhadap mereka ketika pemerintah berniat untuk memberlakukannya atau
sebagiannya. Maka pada permasalahan ini Al-Azhar dan menteri pengadilan
mengajukan proyek undang-undang hukum hudud kepada majlis perwakilan rakyat
pada tahun 1977, lalu proyek itu membeku di dalam lemari majlis perwakilan
rakyat. Akan tetapi langkah ini disambut dengan reaksi yang sangat hebat dari
orang-orang nasrani. Lalu mereka mengadakan konggres di Iskandariyah pada
tanggal 17-1-1977 M. yang dihadiri oleh para pendeta dan seluruh perwakilan
bangsa Qibthi, lalu konggres itu mengeluarkan penjelasan yang menuntut untuk
dihapusnya proyek undang-undang bagi orang-orang murtad dan membuang pamikiran
pelaksanaan syari’at Islam terhadap selain orang-orang Islam. (Lihat buku di
atas karangan Samiroh Bahr, hal. 156, dan buku Al-Mas’alah Ath-Thoifiyah Fi Misro,
cet. Daruth-Tholi’ah 1980 M. hal. 36-37) dan permintaan mereka yang terakhir
ini dianggap sebagai pembatalan secara jama’ii terhadap perjanjian dzimmah,
seandainya kita terima bahwa dzimmah itu ada dan berlaku ketika itu.
Wa ba’du;
Inilah
penjelasan singkat tentang keadaan kita yang berkaitan dengan ahlul kitab yang
berada di negara-negara kaum muslimin. Dan di muka bumi pada hari ini tidak ada
orang yang di sebut dengan ahludz dzimmah, namun hal itu tidak menjadi
penghalang untuk mempelajari permasalahan ini dan mengenal hukum-hukumnya,
khususnya bagi penuntut ilmu yang membidang permasalahan tertentu supaya mereka
mengetahui penyelewengan-penyelewengan yang dicoba untuk dimasukkan oleh
sebagian orang jaman sekarang.
No comments:
Post a Comment