Translate

Friday, 21 September 2012

Hukum-hukum yang berkaitan dengan Ahludz dzimmah
Oleh Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz
(dalam buku Al Jami’ li Thalabi ‘Ilmisy Syarief)     

Pembahasan ini juga termasauk pembahasan yang mengalami penyelewengan pada jaman ini yang dilakukan oleh sebagian orang, kadang penyelewengan itu atas nama ijtiad dan pembaharuan, dan kadang dengan alasan toleransi agama. Dengan dengan penyelewengan-penyelewengan mereka, meereka manghapus hukum-hukum yang telah ditetapkan berdasarkan al-qur’an, as-sunnah dan ijma’.

Pertama seorang pelajar harus tahu definisi Ahludz dzimmah dan perlakuan terhadap mereka di dalam darul Islam pada masa dahulu samapa gugurnya hukum-hukum khusus yang berlaku bagi mereka bersamaan dengan berkuasanya undang-undang buatan manusia menggantikan hukum-hukum syari’at.

Pertama; definisi Ahludz dzimmah.
Adapun tentang definisi Ahludz dzimmah Ibnul Qoyyim berkata: “Orang-orang kafir itu (ada dua macam, yaitu), ahlul harbi (musuh peperangan) atau ahlul ‘ahdi (yang mengadakan perjanjian damai). Sedangkan Ahlul ‘Ahdi ada tiga macam; Ahludz dzimmah, ahlu hudnah (gencatan senjata) dan ahlu amaan (yang mendapat jaminan keamanannya). Dan para fuqoha’ telam membuat satu bab tersendiri untuk setiap macamnya. Mereka menyebutkan bab al-hudnah, bab al-amaan, bab akad dzimmah. Kata al-dzimmah dan al’ahdu pada asalnya mencakup mereka semuannya, dan begitu juga kata ash-shulhu. – sampai beliau mengatakan – akan tetapi istilah ahludz dzimmah di kalangan kebanyakan fuqoha’ menjadi sebuah istilah untuk orang-orang yang membayar jizyah, dan mereka inilah yang mendapatkan hak dzimmah (jaminan, tanggungan) yang kekal. Mereka ini telah berjanji kepada kaum muslimin untuk diberlakukan pada mereka hukum Alloh dan Rosul-Nya, karena mereka tinggal di dalam negara yang diberlakukan hukum Alloh dan rosulNya.
Beda halnya dengan ahlul hudnah (gencatan senjata), mereka berdamai dengan kaum muslimin dengan tetap tinggal di dalam negeri mereka, sama saja apakah perdamaian itu ditukar dengan harta atau tidak. Kepada mereka tidak diberlakukan hukum Islam sebagaimana ahludz dzimmah, akan tetapi mereka harus menghentikan peperangan terhadap kaum muslimin. Mereka ini dinamakan ahlul ‘ahdi, ahlush shulhi dan ahlul hudnah.
Adapun al-musta’min (orang yang mendapat jaminan keamanan); adalah orang yang datang ke negara Islam dan tidak bertempat tinggal di sana. Mereka ini ada empat macam; para utusan, para pedagang, mustajiirun (orang-orang yang meminta keamanan) supaya mereka mendapatkan penjelasan tentang Islam dan al-Qur’an, jika mereka mau mereka masuk Islam dan jika tidak mereka kembali ke negeri mereka dan orang-orang yang memohon untuk menyelesaikan kebutuhan seperti kunjungan atau yang lainnya. Hukum bagi mereka adalah hendaknya mereka tidak boleh diperangi, tidak boleh dibunuh, tidak dipungut jizyah dan bagi mustajiir dijelaskan kepada mereka tentang Islam dan Al-Qur’an, jika mereka mau masuk Islam maka hal itu baik dan jika mereka ingin kembali ke tempat mereka mereka dipersilahkan dan dia dibiarkan sabelum ia sampai kepada tempatnya dan jika telah sampai maka statusnya kembali menjadi harbi (musuh) lagi, sebagaimana sebelumnya.” (Ahkam Ahludz Dzimmah karangan Ibnul Qoyyim II/475-476)

Kedua; Hukum-hukum yang berkaitan dengan Ahludz Dzimmah di daarul Islam.
Adapun perlakuan kepada mereka di negari-negari Islam adalah mewajibkan mereka untuk membayar jizyah (yaitu uang senilai tertentu yang dibayarkan oleh laki-laki yang telah baligh di antara mereka setiap tahun), berlaku syari’at Islam kepada mereka dan mereka diwajibkan memenuhi syarat-syarat atau perjanjian yang telah ditetapkan oleh kholifah Umar. Hal itu sebagai ganti mereka tinggal di daarul Islam dengan jaminan keamanan terhadap nyawa dan harta mereka.
Kebanyakan buku fikih menyebutkan syarat-syarat yang ditetapkan Umar tersebut, dan disini kami nukilkan perkataan Ibnul Qoyyim ra.,:
قال عبدالله بن الإمام أحمد: حدثني أبو شرحبيل الحمصي عيسى بن خالد قال: حدثني عمر أبو اليمان وأبو المغيرة قالا: أخبرنا إسماعيل بن عياش قال: حدثنا غير واحد من أهل العلم قالوا: كتب أهل الجزيرة إلى عبدالرحمن بن غنم: «إنا حين قدمت بلادنا طلبنا إليك الأمان لأنفسنا وأهل ملتنا على أنا شرطنا لك على أنفسنا ألا نحدث في مدينتا كنيسة، ولا فيما حولها ديراً ولا قلاية ولا صومعة راهب، ولا نجدد ماخرب من كنائسنا ولا ماكان منها في خطط المسلمين، وألا نمنع كنائسنا من المسلمين أن ينزلوها في الليل والنهار، وأن نوسع أبوابها للمارة وابن السبيل، ولانؤوي فيها ولا في منازلنا جاسوساً، وألا نكتم غشاً للمسلمين، وألا نضرب بنواقيسنا إلا ضرباً خفياً في جوف كنائسنا، ولانظهر عليها صليباً، ولا نرفع أصواتنا في الصلاة ولا القراءة في كنائسنا فيما يحضره المسلمون، وألا نخرج صليباً ولا كتاباً في سوق المسلمين، وألا نخرج باعوثاً ــ قال: والباعوث يجتمعون كما يخرج المسلمون يوم الأضحى والفطر ــ ولاشعانين، ولا نرفع أصواتنا مع موتانا، ولا نظهر النيران معهم في أسواق المسلمين، وألا نجاورهم بالخنازير ولاببيع الخمور، ولا نظهر شركاً، ولا نرغّب في ديننا، ولاندعو إليه أحداً، ولانتخذ شيئاً من الرقيق الذي جرت عليه سهام المسلمين، وألا نمنع أحداً من أقربائنا أرادوا الدخول في الإسلام، وأن نلزم زيّنا حيثما كنا، وألا نتشبه بالمسلمين في لبس قلنسوة ولا عمامة ولا نعلين ولا فَرْق شعر ولا في مراكبهم، ولا نتكلم بكلامهم، ولانكتنى بكناهم، وأن نجز مقادم رؤوسنا ولانفرِق نواصينا، ونشد الزنانير على أوساطنا، ولا ننقش خواتمنا بالعربية، ولانركب السروج، ولانتخذ شيئاً من السلاح ولانحمله، ولانتقلد السيوف، وأن نوقر المسلمين في مجالسهم ونرشدهم الطريق، ونقوم لهم عن المجالس إن أرادوا الجلوس، ولانطلع عليهم في منازلهم، ولانعلم أولادنا القرآن، ولايشارك أحد منا مسلماً في تجارة إلا أن يكون إلى المسلم أمر التجارة، وأن نضيف كل مسلم عابر سبيل ثلاثة أيام ونطعمه من أوسط مانجد. ضَمنا لك ذلك على أنفسنا وذرارينا وأزواجنا ومساكيننا، وإنْ نحن غيَّرنا أو خالفنا عما شرطنا على أنفسنا، وقَبِلْنا الأمان عليه، فلا ذمة لنا، وقد حل لك منّا مايحل لأهل المعاندة والشقاق».

“Abdulloh bin Ahmad berkata, Abu Syarohbil Al-Himshi Isa bin Kholid mengkabarkan kepada kami, dia mengatakan; Umar Abul Yaman dan Abul Mughiroh berkata mengkabarkan kepada kami, keduanya berkata; Isma’il bin Iyasy mengkabarkan kepada kami, ia berkata; lebih dari seorang ulama’ mengkabarkan kepada kami, mereka mengatakan; Penduduk Jaziroh menulis sholat kepada Abdur Rohman bin Ghonam, yang berisi; Sesungguhnya ketika anda datang ke negeri kami, kami meminta kapada anda jaminan keamanan untuk nyawa kami dan para pemeluk agama kami, yaitu kami berjanji tidak akan membangun gereja yang berada di dalam negeri kami, juga tidak membangun disekitar gereja biara, tempat uskup dan tempat pendeta, kami tidak akan memperbaharui gereja kami yang roboh dan tidak pula yang menjadi perencanaan orang-orang Islam, kami tidak akan melarang orang Islam untuk singgah di gereja kami baik siang maupun malam, kami akan perluas pintunya bagi orang yang lewan dan musafir, kami tidak akan melindungi seorang mata-mata dalam gereja atau dalam rumah kami, kami tidak menutupi penipuan kepada orang-orang Islam, kami tidak akan memukul lonceng kecuali pelan-pelan di dalam gereja kami, kami tidak akan menampakkan salib, kami tidak akan mengeraskan do’a dan bacaan kami di gereja yang dihadiri orang-orang Islam, kami tidak akan mengeluarkan salib dan kitab di pasar orang-orang Islam, kami tidak akan keluar untuk ba’uuts – dia berkata; ba’uuts adalah mereka berkumpul sebagaimana orang-orang Islam pada hari raya idul adl-ha dan idul fith-ri – dan tidak pula sya’anin, kami tidak akan mengeraskan suara kami ketika ada kematian diantara kami, kami tidak menampakkan api bersama mereka di pasar orang Islam, kami tidak akan bertetangga dengan mereka dengan memelihara babi, kami tidak akan menjual khomer, kami tidak akan menampakkan kesyirikan, kami tidak menawarkan agama kami, kami tidak mengajak seseorangpun masuk agama kami, kami tidak akan mengambil budak yang menjadi bagian orang-orang Islam, kami tidak akan melarang seorangpun dari kerabat kami yang mau masuk Islam, kami akan selalu mengenakan pakaian kami di manapun kami berada, kami tidak akan menyerupai orang-orang Islam dalam memakai peci, sorban, sandal, membelah rabut dalam bersisir dan kendaraan, kami tidak berbicara dengan bahasa mereka, kami tidak membuat kuniyah (nama sebutan) dengan kuniyah yang mereka gunakan, kami akan memendekkan rambut depan kami dan tidak membelah rambut kami dalam bersisir, kami akan mengenakan sabuk pada tengah badan kami, kami tidak akan mengukir cincin kami dengan menggunakan bahasa arab, kami tidak akan naik kereta kuda, kami tidak akan menyandang dan membawa senjata, kami tidak akan menenteng pedang, kami akan menghormati orang-orang Islam dalam majlis dan menunjukkan jalan kepada mereka, dan kami akan berdiri dalam sebuah majlis jika mereka mau duduk, kami tidak meninggikan rumah kami melebihi rumah mereka, kami tidak akan mengajari Al-Qur’an kepada anak-anak kami, kami tidak akan turut campur perdagangan orang muslim kecuali orang muslim tersebut membutuhkannya, dan kami akan menjamu orang muslim yang dalam perjalanan selama tiga hari dan kami akan menghidangkan makanan yang biasa kami dapatkan.
Kami menjamin bahwa kami, anak-anak kami, istri-istri kami dan orang-orang miskin kami akan melaksanakan itu semua. Dan jika kami merubah atau menyelisihi syarat-syarat yang telah kami tetapkan kepada diri kami untuk mendapatkan jaminan keamanan, maka tidak ada dzimmah lagi bagi kami, dan halal memperlakukan kami sebagaimana memperlakukan orang yang membangkang dan menentang.”
Maka Abdur Rohman bin Ghonam menulis surat kepada Umar bin al-Khothob ra., tentang hal itu. Dalam isi surat itu disebutkan: “Berlakukanlah apa yang mereka minta, dan tambahkan dua huruf pada syarat-syarat yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri itu, yaitu mereka tidak boleh membeli budak-budak kami (budak muslim) dan barang siapa memukul seorang muslim, ia telah membatalkan janjinya.”
Maka Abdur Rohman bin Ghonam pun melaksanakan nya, dan membiarkan orang Romawi yang tinggal di kota-kota Syam dengan syarat-syarat tersebut.
Ibnul Qoyyim berkata: “Kemasyhuran syarat-syarat ini menjadikannya tidak perlu lagi meneliti sanadnya, karena sesungguhnya para ulama’ menerimanya dan menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka. Mereka berhujjah dengannya dan mereka senantiasa menyebutkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh kholifah Umar ini dengan lisan dan kitab-kitab mereka. Dan setelah itu para kholifah setelahnya melaksanakannya dan membuat konsekuensi-konsekuensinya.” (Ahkam Ahlidz Dzimmah karangan Ibnul Qoyyim II/657-664, cet. Daarul ‘Ilmi Lil Malayin 1983 M.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh Kholifsh Umar itu berisi beberapa permasalahan;
-    Di antaranya yang berkaitan dengan hukum tempat peribadahan mereka (gereja dll) dan apa-apa yang terkait dengannya.
-    Diantaranya hal-hal yang berkaitan dengan menyembunyikan symbol-simbol agama mereka.
-    Diantaranya yang berkaitan dengan  hal-hal yang membedakan mereka dengan kaum muslimin dalam berpakaian, model rambut dan kendaraan.
-    Diantaranya yang berkaitan dengan hal-hal membahyakan Islam dan kaum muslimin yang harus mereka tinggalkan.
-    Diantaranya hal-hal yang berkaitan dengan hukum menjamu tamu yang lewat.
-    Diantaranya halhal yang berkaitan dengan kewajiban untuk tidak memuliakan mereka dan mereka harus dalam keadaan hina sebagaimana yang disyari’atkan Alloh.
Permasalahan ini saya nukil dengan perubahan  dari kitab Ahkam Ahlidzd Dzimmah karangan Ibnul Qoyyim II/665-666 dan dari kitab Iqtidlo’ush Shirothol Mustaqim, karangan Ibnu Taimiyah, cet. Al-Madani, hal. 121-123.
Ada dua permasalahan mendasar mana dzimmah itu tidak akan ada tanpa ada keduanya, yang tidak disebutkan dalam syarat-syarat yang ditetapkan oleh Kholifah Umar, yaitu membayar jizyah dan berlakunya hukum Islam atas mereka. Ibnu Qudamah Al-Hambali ra., berkata: “Dan membuat akad dzimmah yang kekal itu tidak boleh kecuali dengan dua syarat: peryama; mereka harus membayar jizyah setiap tahun, dan yang kedua; mereka mengikuti hukum Islam dan mereka menerimak apa yang diputuskan terhadap mereka berupa kewajiban dan meninggalkan yang haram, berdasarkan firman Alloh:
حتى يُعطوا الجزية عن يدٍ وهم صاغرون
Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan hina. (QS. 9:29)
 (Al-Mugh-ni MA’asy Syarhil Kabir X/572) dan kehinaan itu berupa melaksanakan syari’at Islam yang berlaku atas mereka. Hal ini disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dan yang lainnya (Ahkam Ahlidz Dzimmah I/24)
Ibnu Taimiyah menyebutkan syarat-syarat yang dittetapkan oleh Kholifah Umar ini dengan sanad shohih, lihat Ash-Shorimul Maslul, hal. 208 dan Iqtodlo’ush Shirothil Mustaqim, hal. 120. Dan Ibnu Taimiyah berkata: “Dan syarat-syarat ini sangat masyhur dalam kitab-kitab ilmu dan fikih, dan secara umum hal ini merupakan ijma’ di kalangan ulama’ yang diikuti, sahabat-sahabat mereka dan seluruh imam. Seandainya tidak masyhur dikalangan para fuqoha’ pasti kami sebutkan perkataan setiap kelompok ulama’ tersebut.” (Iqtidlo’ush Shirothil Mustaqim, hal. 121) Dan Ibnu Taimiyah juga berkata: “Dan syarat-syarat ini senantiasa diperbaharui pelaksanaannya oleh para penguasa kaum muslimin yang diberi petunjuk oleh Alloh.” (Majmu’ Fatawa XXVIII/654)
Perlakuan ini terus berjalan di dalam negeri-negeri Islam sesuai dengan syarat-syarat tersebut sepanjang masa. Dan para ahli sejarah menyebutkan dalam buku-buku mereka tentang pembaharuan yang dilakukan oleh para penguasa kaum muslimin terhadap syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh kholifah Umar ini dalam pelaksanaannya terhadap ahludz dzimmah. Sebagai contoh lihat dokumen Sultan An-Nashir Muhammad bin Qolawun tentang pembaharuan perjanjian yang telah ditetapkan oleh kholifah Umar terhadap ahludz dzimmah pada tahun 700 H. Al-Qolaosyandi dalam kitab Shubhul A’sya XIII/378,387.

Ketiga; Perubahan yang terjadi pada hukum-hukum yang berkaitan dengan ahludz dzimmah di dalam negara-negara sekuler.
Perlaluan tersebut terus berjalan sampai akhir abad ke 12 hijriyah – pertengahan abad ke 19 masehi – ketika keadaan daulah utsmaniyah kacau dan daerangnya meluas serta berbelok kearah sekuler dengan bentuk yang bermacam-macam seperti menjalankan undang-undang positif sebagai pengganti hukum syari’at, dan menggambil system demokrasi barat yang memberikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat sebagai pengganti kekuasaan hukum Alloh dalam Islam. Diantara dampak sekulerisasi ini adalah membangun negara berdasarkan nasionalisme, (yang itu berarti menyam aratakan kepada semua penduduk di dalam hak dan kewajiban tanpa memandang kepada identitas agama) sebagai pengganti identitas agama yang menjadi landasan pembagian pemduduk kepada arang Islam dan ahludz dzimmah. Dan inilah meng menjadi akhir berlakunya hukum-hukum yang berkaitan dengan ahludz dzimmah dan hilanglah istilah ahludz dzimmah ini dalah undang-undang sekuler yang membangun pemikiran nasionalisme di dalam seluruh negara kaum muslimin pada hari ini. Sehingga orang muslim yang bukan penduduknya diperlakukan sebagai orang asing dalam waktu yang bersamaan orang kafir yang menjadi penduduknya diperlakukan sebagaimana penduduk negeri yang lain dalam semua hak.
Seorang penulis perempuan Dr. Samiroh Bahr mengatakan – dalam menerangkan perkembangan keadaan di sebuah negeri seperti mesir – “Pemerintahan Islam berlalu bergantian dengan perlakuan yang secara umum tidak bisa dikatakan jelek kecuali dua hal. Pertama; pembayaran jizyah yang merupakan salah satu simbul negara teokrasi (ditambah lagi tidal diijinkannya mereka membawa senjata, dan tidak diterimanya kesaksian mereka terhadap orang Islam dalam peradilan…). Dan yang kedua; penghancuran gereja yang itu merupakan perbuatan orang-orang awam dan gembel ketika melakukan pemberotakan, kemudian orang-orang nasran tidak diijinkan untuk membangun kembali gereja-gereja mereka atas perintang penguasa muslim. Dan disebutkan dalam perjanjian yang dinisbahkan kepada kholifah Umar bin Al-Khothob; “Dan kalian sama sekali tidak diperbolehkan untuk menampakkan salib di daerah-daerah orang Islam dan kalian tidak boleh membangun gereja dan tempat untuk beribadah dan kalian tidak boleh memukul lonceng.” – sam pai perempuan itu mengatakan: “Dan kehidupan bangsa Qobthi terus berkembang menuju kehidupan modern bersama saudara-saudar muslim mereka khususnya, dan gubernur Sa’id – penguasa Mesir – memasukkan mereka ke tengah-tengah negeri karena dia ingin mengeluarkan bangsa turki dari jabatan-jabatan yang berkaitan dengan kebudayaan dan peperangan. Kemudia memulai untuk mengandalkan orang-orang mesir dan membukak secara luas untuk orang-orang mesir dalam tugas-tugas kenegaraan dan ketentaraan. Pemecatan-pemecatan di mesir ini mengakibatkan sirnanya penghalang pelurusan antara unsure-unsur mesir dengan keluarnya keputusan diterimanya orang-orang nasrani sebagai tentara dan berlakunya pelayanan ketentaraan kepada mereka. Maka perintah tertinggi yang dikeluarkan pada bulan Jumadal Ulaa 1272 H. bahwasanya “Semua bangsa Qithbi akan diajak untuk membawa senjata mengikuti jejak umat Islam, hal itu untuk menjaga prinsi kesamaan (hak dan kewajiban-pent.) Dan sebelumnya telah dikeluarkan perintah untuk menghapus jizyah yang diwajibkan kepada ahlidz dzimmah pada bulan desember 1855 M. – sampai dia mengatakan – dan pada masa Al-Khodiwi Ismail juga telah ditunjuk hakim dari bangsa Qithbi dalam lembaga pengadilan sebagaimana yang telah kami singgung. Dan ini tidak kurang pentingnya dari pada peran majlis perundang-undangan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan penghapusan lembaga pengadilan dahulu yang sebelumnya hanya terbatas pada hakim-hakim Islam dan diangkatnya pengadilan-pengadilan pribumi sebagai penggantinya. Maka pengangkatan hakim itu tidak boleh memandang kepada agamanya supaya terbentuk sebuah pengadilan yang ditaati oleh orang-orang mesir dengan tanpa memandang agama juga. Dua hal tersebut (madrasah-madrasah amiriyah terbuka untuk semua orang-orang mesir dan mengangkat hakim di lembaga pengadilan dari bangsa Qibthi) menunjukkan bahwa ini adalah permulaan pembangunan lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar nasionalisme dan atas dasar kebudayaan sekuler.” (Dinukil dari kitab Al-Aqbath Fil Hayah As-Siyasiyah Al-Misriyah, karangan Dr. Samiroh Bahr, cet. Maktabah Al-Anjalu Al-Misriyah, cet. Ke 2, 1984, hal. 35-38). Perkataan ini penting untuk ditampilkan untuk memaparkan sejarah, namun pengarang buku tersebut mengatakan perkataan kekafiran yaitu perkataannya bahwa jizyah itu urusan yang jelek padahal itu adalah perintah Alloh dalam firmanNya:
   حتى يُعطوا الجزية عن يدٍ وهم صاغرون
Sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan hina. (QS. 9:29)
Akan tetapi saya tidak tahu dia itu orang Islam atau orang nasrani. Begitu juga perkataannya tentang membangun kembali gereja, ini tidak ada syari’atnya dan diremehkan pemerintah Islam. Secara detail terdapat dalam Majmu’ Fatawa XXVIII/632 dan halaman setelahnya.
Dan dengan gugurnya jizyah dari tanggungan ahludz dzimmah dan dengan persamaan status mereka dengan kaum muslimin, yang hal itu berarti menyelisihi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Umar, maka ikatan janji mereka telah batal dan mereka kembali menjadi orang-orang kafir harbi (musuh). Asy-Syaukani berkata: “Penetapan dzimmah mereka disyaratkan dengan pembayaran jizyah dan pelaksanaan syarat-syarat yang ditetapkan kaum muslimin untuk mereka. Maka jika syarat tersebut tidak terpenuhi, mereka kembali kepada keadaan mereka sebelumnya yaitu mubah darah dan harta mereka. Ini adalah permasalahan yang telah dimaklumi dan tidak ada perselisihan. Di akhir perjanjian yang telah ditetapkan oleh kholifah Umar disebutkan: Jika mereka menyelisihi syarat yang telah ditetapkan kepada mereka, maka tidak ada dzimmah lagi bagi mereka maka halal bagi kaum muslimin untuk melakukan memperlakukan mereka sebagaimana mereka memperlakukan orang kafir yang membangkang dan menentang.” (AS-Sailul Jarror karangan Asy-Syaukani IV/574) dan telah disebutkan sebelumnya perkataan Ibnu Qudamah yang semakna dengan perkataan ini.
Sama saja apakah pembatalan perjanjian dzimmah itu dari arah   mereka (ahludz dzimmah) atau dari arah pemerintah yang kafir sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Khodiwi Sa’id dan orang-orang yang memerintah Mesir setelah dia. Ini tidak mempengaruhi hasilnya, sesungguhnya nyawa dan hartanya tidak dijamin keamanannya oleh kaum muslimin kecuali dengan jaminan keamanan yang syah dari mereka. Maka jika tidak ada jaminan keamanan, gugurlah hilanglah keamanannya. Dan ini adalah contoh untuk apa yang terjadi diberbagai negeri kaum muslimin.
Sebagian orang lagi membawa syubhat lain dengan mengataka: “Apakah dosa mereka – ahlul kitab – karena mereka tidak mengadakan akad dzimmah itu bukan karena mereka tidak mau akan tetapi karena tidak adanya daulah Islam, bisa jadi kalau ada mereka akan masuk menjadi ahludz dzimmah?
Jawab;
Sesungguhnya syubhat ini batil karena ini termasuk berhujjah dengan taqdir yang batil. Karena tegak dan runtuhnya daulah Islam itu adalah taqdir Alloh, jika ada daulah maka akan ada hukum-hukum tertentu yang menyertainya dan jika runtuh maka hilanglah hukum-hukum yang menyertai keberadaannya tersebut. Syubhat ini seperti orang yang mengatakan; apa dosa orang kafir yang hanya taqlid kepada kedua orang tuanya, bisa jadi kalau kedua orang tuanya muslim, ia akan masuk Islam juga. Ini semua sudah ditaqdirkan oleh Alloh, dan syari’at idak bisa dibantah dengan taqdir Alloh. Sebagaimana orang-orang yang Alloh cela dalam firmanNya:
وإذا قيل لهم أنفقوا مما رزقكم الله، قال الذين كفروا للذين آمنوا أنطعم من لو يشاء الله أطعمه، إن أنتم إلا في ضلال مبين
Dan apabila dikatakan kepada mereka:"Nafkahkanlah sebagian dari rizki yang diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman:"Apakah Kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesaatan yang nyata". (QS. 36:47)
Mereka berhujjah dengan taqdir (yaitu; sesungguhnya Alloh menghendaki menghendaki orang tesebut kelaparan, kalau Alloh menghendaki pasti Alloh memberikan makan kepadanya) untuk membantah syari’at (yaitu; perintah untuk berinfaq dan bersedekah). Lalu Alloh menyatakan sesat orang yang berhujjah dengan alasan seperti ini. Alloh berfirman:
إن أنتم إلا في ضلال مبين
tiadalah kamu melainkan dalam kesesaatan yang nyata
Begitu juga orang-orang yang membawa syubhat ini mereka berhujjah dengan dengan taqdir (yaitu; kenhendak Alloh atas sirnanya daulah Islam) untuk membantah syari’at (yaitu; bahwa orang kafir yang tidak ada ikatan perjanjian darah dan hartanya mubah), maka kami jawab mereka dengan firman Alloh:
إن أنتم إلا في ضلال مبين
tiadalah kamu melainkan dalam kesesaatan yang nyata
Saya tambahkan bahwa digugurkannya hukum-hukum yang berkaitan dengan ahlidz dzimmah  di suatau negara seperti mesir, telah mendapat sambutan dan kelegaan yang besardari orang-orang nasrani. Hal itu diikuti dengen perlawanan mereka terhadap pangdangan Islam apapun pada pemerintahan sekuler di mesir dimulai dari serangan mereka terhadap pemikiran konfransi Islam yang diserukan oleh Jamaluddin Al-Afghoni pada akhir abad ke 19 Masehi dan berakhir dengan penolakan mereka terhadap pelaksanaan hukum-hukum Islam terhadap mereka ketika pemerintah berniat untuk memberlakukannya atau sebagiannya. Maka pada permasalahan ini Al-Azhar dan menteri pengadilan mengajukan proyek undang-undang hukum hudud kepada majlis perwakilan rakyat pada tahun 1977, lalu proyek itu membeku di dalam lemari majlis perwakilan rakyat. Akan tetapi langkah ini disambut dengan reaksi yang sangat hebat dari orang-orang nasrani. Lalu mereka mengadakan konggres di Iskandariyah pada tanggal 17-1-1977 M. yang dihadiri oleh para pendeta dan seluruh perwakilan bangsa Qibthi, lalu konggres itu mengeluarkan penjelasan yang menuntut untuk dihapusnya proyek undang-undang bagi orang-orang murtad dan membuang pamikiran pelaksanaan syari’at Islam terhadap selain orang-orang Islam. (Lihat buku di atas karangan Samiroh Bahr, hal. 156, dan buku Al-Mas’alah Ath-Thoifiyah Fi Misro, cet. Daruth-Tholi’ah 1980 M. hal. 36-37) dan permintaan mereka yang terakhir ini dianggap sebagai pembatalan secara jama’ii terhadap perjanjian dzimmah, seandainya kita terima bahwa dzimmah itu ada dan berlaku ketika itu.
Wa ba’du;
Inilah penjelasan singkat tentang keadaan kita yang berkaitan dengan ahlul kitab yang berada di negara-negara kaum muslimin. Dan di muka bumi pada hari ini tidak ada orang yang di sebut dengan ahludz dzimmah, namun hal itu tidak menjadi penghalang untuk mempelajari permasalahan ini dan mengenal hukum-hukumnya, khususnya bagi penuntut ilmu yang membidang permasalahan tertentu supaya mereka mengetahui penyelewengan-penyelewengan yang dicoba untuk dimasukkan oleh sebagian orang jaman sekarang.

No comments:

Post a Comment

Entri Populer

Majelis Ulama Indonesia

Radio Dakwah Syariah

Nahimunkar