A.
Nama dan Nasab
Beliau adalah
‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq bin Abu Quhafah bin ‘Amir bin ‘Amr bin
Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay. Ibunda beliau bernama
Ummu Rumman binti ‘Umair bin ‘Amir bin Dahman bin Harist bin Ghanam bin Malik
bin Kinanah.
‘Aisyah رضي الله
عنها terlahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Rasulullah صلّى الله عليه
و سلّم
Dari ‘Aisyah رضي
الله عنها, bahwasanya dia pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
semua maduku mempunyai kun-yah (julukan), maka sudikah engkau memberikan juga
kun-yah untukku?” Beliau صلّى الله عليه و سلّم menjawab: “Julukilah dirimu
dengan putera (angkat)mu ‘Abdullah bin az-Zubair.” Sejak saat itu, ‘Aisyah رضي
الله عنها diberi kun-yah Ummu ‘Abdillah hingga meninggal dunia.
B.
Malaikat Jibril Membawa Gambar ‘Aisyah untuk Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم
serta Peminangan dan Pernikahan Beliau dengannya
Dari ‘Aisyah
رضي الله عنها, ia berkata: “Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم bercerita
kepadaku: ‘Aku melihatmu dalam mimpi sebelum menikah denganmu sebanyak dua
kali, (dalam lafazh lain: tiga kali). Malaikat datang kepadaku, ia membawakan
jasadmu dalam sehelai kain sutera, seraya berkata: ‘Inilah isterimu!’ Akupun
membuka (kain tadi untuk melihat) wajah wanita itu, dan ternyata dia adalah
kamu.’” Kemudian, aku bertanya: “Kalau memang ini ketentuan dari Alloh, pasti
akan terlaksana.”
Dari ‘Aisyah رضي
الله عنها, ia berkata: “Malaikat Jibril datang membawaku kepada Rasulullah صلّى
الله عليه و سلّم dalam sehelai kain sutera, seraya berkata: ‘Ini adalah
isterimu di dunia dan di akhirat.’”
Imam al-Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah رضي الله عنها, ia berkata: “Rasulullah
صلّى الله عليه و سلّم menikahiku saat aku berumur enam tahun. Setelah itu, kami
mendatangi kota Madinah dan tinggal di rumah Bani al-Harits bin Khazraj. Akupun
jatuh sakit karena kelelahan, bahkan rambutku rontok hingga berjatuhan di kedua
pundakku. Ibuku, Ummu Rumma, bersama beberapa temanku datang menjengukku, tepat
saat diriku berada di ayunan anak-anak. Tiba-tiba ibuku berteriak memanggilku
hingga aku bergegas menghampirinya.
Aku tidak tahu
apa yang ibuku inginkan dariku, sampai-sampai aku diberdirikan di pintu rumah
dengan napas terengah-engah, hingga akhirnya jiwaku sedikit tenang. Setelah
itu, aku mengambil sedikit air lalu mengusap wajah dan kepalaku. Lantas, ibuku
memasukkanku ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya terdapat beberapa wanita
Anshar. Mereka mengatakan: ‘Semoga engkau tetap berada dalam kebaikan dan
keberkahan.’ Ibuku menyerahkanku dan merekapun merias diriku. Tidak ada yang
membuatku takut ketika itu, kecuali Rasulullah (yang akan kutemuai) pada waktu
dhuha. Selanjutnya, ibuku menyerahkanku kepada beliau dan aku saat itu baru
berumur sembilan tahun.”
C.
Sekelumit tentang Keutamaan ‘Aisyah رضي الله عنها
Ummul Mukminin
‘Aisyah memperoleh kedudukan dan cinta Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم yang
tidak didapatkan oleh seorang wanitapun pada zamannya. Cinta Rasulullah صلّى
الله عليه و سلّم kepada ‘Aisyah رضي الله عنها sangat luar biasa. Bahkan, para
sahabat selalu menunggu saat yang tepat untuk memberikan hadiah kepada
Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم, yaitu pada hari giliran ‘Aisyah رضي الله عنها
guna mencari keridhaan beliau, karena mereka mengetahui dalamnya cinta Nabi
terhadap ‘Aisyah رضي الله عنها.
Hari giliran
‘Aisyah رضي الله عنها adalah dua hari, sedangkan isteri Rasulullah صلّى الله عليه
و سلّم lainnya hanya mendapat giliran satu hari.
Cinta dan
khawatirnya Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم terhadap ‘Aisyah رضي الله عنها,
beliau pernah menyuruhnya untuk minta diruqyah dari penyakit ‘ain.
Tidak cukup
sampai di situ, Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم juga menganjurkan orang lain
agar mencintainya, terkadang beliau tidak marah kalau ‘Aisyah رضي الله عنها
membela dirinya, terkadang juga ada sebagian madunya yang mempermasalahkan
suatu hal kepada Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم namun beliau malah menjadi
tidak senang karena ‘Aisyah رضي الله عنها disakiti; bahkan Nabi r memujinya
bahwa tidak pernah wahyu turun ketika beliau berada dalam selimut salah seorang
isterinya, kecuali bersama ‘Aisyah رضي الله عنها.
Karena amat
cintanya, Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم pernah mencium ‘Aisyah رضي الله عنها
saat sedang puasa. Beliau pun membujuknya apabila ‘Aisyah رضي الله عنها sedang
kesal. Beliau dapat pula menunjukkan tanda-tanda ‘Aisyah رضي الله عنها ketika
sedang senang dan ketika sedang marah.
Diantara
kelembutan Nabi صلّى الله عليه و سلّم kepada ‘Aisyah رضي الله عنها terlihat
pada waktu beliau pernah lomba lari dengannya. Selain itu, beliau sering
mengajaknya secara khusus untuk menyertainya dalam perjalanan. Perkara yang
juga menunjukkan kedudukan mulia ‘Aisyah رضي الله عنها dalam diri Rasulullah
صلّى الله عليه و سلّم adalah beliau memulai bertanya kepada isterinya ini
tatkala turun ayat takhyiir (tentang pilihan dunia dan akhirat bagi Ummahatul
Mukminin) dan memang tepat jawabannya dalam hal itu.
Cukuplah sebagai
bukti ketinggian derajat ‘Aisyah رضي الله عنها dengan warisan teragung kenabian
yang disampaikannya kepada umat Islam. Alhasil, periwayatannya terhadap hadits
Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم tersebut memenuhi sebagian besar kitab-kitab
sunnah jika tidak boleh dikatakan semuanya. Di samping itu, orang-orang yang
belajar (menimba ilmu) dari beliau adalah para
pembesar sahabat dan tabi’in. para ulama sejak dahulu sampai sekarang berlomba-lomba
menulis ilmu dari beliau. Sebagian mereka menulisnya secara tersendiri, baik
dalam bidang fiqih, periwayatan hadits, tafsir
al-Qur’an, untuaian sya’ir, maupun hari-hari bersejarah bangsa Arab.
Labih dari itu,
‘Aisyah رضي الله عنها mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki ummul mukminin
lainnya hingga mencapai impat puluh criteria. Cukuplah sebagai sebuah
kebanggaan bagi ‘Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم
lebih memilih dirinya untuk tinggal di rumahnya pada waktu sakit (menjelang
wafat), serta bersatunya air liurnya dengan air liur beliau. ‘Aisyahlah yang
langsung melayani Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم ketika itu, bahkan Nabi صلّى
الله عليه و سلّم wafat saat bersandar di dada ‘Aisyah رضي الله عنها. Semoga
Alloh meridhoi Ummul Mukminin ‘Aisyah beserta seluruh Ummul Mukminin lainnya.
D.
Wafatnya ‘Aisyah
‘Aisyah رضي الله
عنها meninggal pada malam selasa, tanggal 17 Ramadhan setelah shalat witir,
pada tahun 58 Hijriyah. Yang demikian itu menurut pendapat mayoritas ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa beliau
wafat pada tahun 57 H, dalam usia 63 tahun dan sekian bulan. Para sahabat
Anshar berdatangan pada saat itu, bahkan tidak pernah ditemukan satu hari pun
yang lebih banyak orang-orang berkumpul padanya daripada hari itu,
sampai-sampai penduduk sekitar Madinah turut berdatangan.
‘Aisyah رضي الله
عنها dikuburkan di Pekuburan Baqi’. Shalat jenazahnya diimami oleh Abu Hurairah
dan Marwan bin Hakam yang saat itu adalah Gubernur Madinah. Semoga Alloh
meridhoi Ummul Mukminin ‘Aisyah رضي الله عنها beserta seluruh Ummul Mukminin
lainnya.
Bantahan
Terhadap Beberapa Syubhat (Tuduhan) yang Dialamatkan Kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah
A.
Pernikahan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم
dengan ‘Aisyah رضي الله عنها
Sejak dahulu,
musuh-musuh Islam tidak pernah menyia-nyiakan satu kesempatan pun untuk berbuat
jahat. Tidaklah pula mereka membiarkan satu celah pun terbuka untuk mencela
Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم melainkan akan segera memanfaatkannya.
Di antara
tuduhan mereka adalah mengenai pernikahan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم
dengan seorang perawan kecil (‘Aisyah), yang sebenarnya hanya pantas menjadi
salah satu puterinya.
Anehnya, tuduhan
tersebut baru dilontarkan oleh musuh-musuh Islam pada zaman sekarang, padahal
tuduhan semacam ini tidak ditemukan pada zaman nenek moyang mereka dari
kalangan bangsa Yahudi, orang-orang munafik, dan kaum lainnya. Hal demikian
dikarenakan mereka hidup pada zaman yang menganggap kejadian ini bukanlah suatu
keanehan dan bukan pula sebuah aib menurut pandangan dan kondisi masyarakat
saat itu. Jika tidak demikian, apakah mungkin orang-orang kafir dan orang-orang
yang suka mencela Rasulullah pada zaman itu membiarkan kesempatan emas ini?
Tidak adanya
tuduhan tersebut karena mereka telah mengetahui bahwa ‘Aisyah رضي الله عنها
bukanlah gadis kecil pertama yang dinikahkan pada usia dini dengan seorang
laki-laki yang lebih tua daripadanya, dan bukan pula yang terakhir. Di samping
itu, mengapa hal ini mesti dipungkiri, bukankah sebelumnya ‘Aisyah رضي الله
عنها sudah dipinang oleh Jubair bin Muth’im bin ‘Adi? Lihat pula ‘Umar bin
al-Khaththab, beliau di akhir usianya dengan Ummu Kultsum binti ‘Ali bin Abi
Tholib, padahal ‘Umar lebih tua disbanding umur bapaknya (‘Ali). ‘Umar juga
pernah menawarkan puterinya, Hafshah, setelah menjanda kepada Abu Bakar dan
‘Utsman, padahal keduanya saat itu seumur dengan ‘Umar.
Meskipun
demikian, syubhat ini ternyata melekat dalam pikiran sebagian umat Islam, baik
secara sengaja ataupun tidak, sehingga sebagian orang menganggap bahwa menikah
pada umur sebagaimana Rasulullah membangun rumah tangga dengan ‘Aisyah رضي
الله عنها merupakan sesuatu yang mustahil. Namun, al-hamdulillah, para ulama
Muslim telah membantah pendapat musuh-musuh Islam itu dengan berbagai dalil
naqli (nash) dan ‘aqli (akal).
Mereka juga
menetapkan hakikat pernikahan ‘Aisyah رضي الله عنها pada usia dini dan
menerangkan bahwa hal ini sudah menjadi kebiasaan mesyarakat pada waktu itu. Di
sisi lain, hal tersebut termasuk syari’at dari Rasulullah, berupa anjuran agar
seseorang menikah pada usia dini, karena yang demikian itu lebih bisa
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Tambahan pula, bahwasanya kesanggupan
seorang wanita untuk memasuki bahtera rumah tangga tidak bergantung pada
usianya, muda atau tua. Sungguh, tidaklah Rasulullah memasuki tahapan hidup
berumah tangga, melainkan karena memang ‘Aisyah رضي الله عنها sudah siap untuk
itu.
B.
Tuduhan Berzina
Tatkala bendera
Islam telah berkibar tinggi dan kejayaan Islam sudah tampak, serta kekuatan
kekufuran hancur, muncullah fenomena di tengah-tengah barisan umat Islam
musuh-musuh bebuyutan yang licik, yang menampakkan Islam di luarnya hanya demi
menjaga darah dan harta, namun mereka menyembunyikan kekufuran dan gejolak
kedengkian, serta tipu daya terhadap Islam dan kaum Muslimin. Mereka adalah
orang-orang munafik yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Ia
beranggapan bahwasanya Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم telah merebut kekuasaan
dan kedudukannya, tidak lain karena kaumnya sebenarnya sudah siap untuk
memberikan kekuasaan dan kerajaan di Madinah padanya (Ubay), sebelum sampainya
ajaran Islam dan masuknya kaum Muslimin di kota tersebut.
Kaum munafik pun
membulatkan tekad untuk merongrong kaum Muslimin, dengan menjalankan aksinya,
baik sendiri-sendiri maupun bergabung bersama kelompok lainnya. Bahkan,
kebusukan dan kejahatan mereka sampai pada titik ikut serta keluar dan
berperang bersama (membantu) Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم terutama pada
peperangan yang diperkirakan akan mendatangkan kemenangan dan mendapatkan harta
rampasan perang, sehingga mereka bisa pulang dengan membawa harta kesenangan
dunia yang fana.
Kaum ini juga
meyakinkan kaum Muslimin bahwasanya mereka berada di satu barisan bersama umat
Islam, padahal pada saat yang sama, mereka mencari-cari kesempatan untuk
menyebarkan racun keraguan dalam hati dan menanam bibit perpecahan di antara
kaum Muslimin. Meskipun semua itu harus ditempuh dengan jalan menghina dan
melecehkan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم pasti mereka akan tetap
melakukannya tanpa ragu-ragu.
Akhirnya, kaum
munafik mendapatkan kesempatan itu tatkala mereka keluar bersama Rasulullah
صلّى الله عليه و سلّم untuk memerangi Bani Mushthaliq. Kaum ini pun memperoleh
peluang emas untuk mengabulkan keinginan nafsu keji mereka.
Peristiwa ini
kemudian dikenal dengan “tuduhan dusta” (haaditsul ifki), sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab-kitab tafsir,
hadits, sejarah peperangan, dan sirah. Peristiwa ini sangat masyhur disebabkan
turunnya beberapa ayat terkait dengan masalah tersebut.
Secara ringkas,
kronologis kejadian di atas adalah sebagaimana berikut. Suatu ketika, rombongan
Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم meninggalkan Ummul Mukminin ‘Aisyah رضي الله
عنها (tanpa sengaja) karena beliau sedang sibuk mencari kalungnya yang hilang
saat sedang buang hajat. Setelah itu, ‘Aisyah رضي الله عنها kembali dan
menunggu di tempat sebelumnya rombongannya berada, hingga datanglah Shafwan bin
Mu’athil sebab dia memang berada di barisan belakang rombongan. Ia pun melihat
dan mengenali wajah ‘Aisyah رضي الله عنها karena pernah melihat beliau sebelum
turunnya ayat hijab. Shafwan lalu menundukkan unta untuk ‘Aisyah رضي الله عنها
dan menuntun keduanya dengan cepat agar dapat menyusul rombongan. Di sisi lain,
rombongan Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم panik karena kehilangan ‘Aisyah رضي
الله عنها hingga pagi berikutnya.
Tatkala kaum
Muslimin sudah agak tenang, tiba-tiba muncullah Shafwan menuntun unta yang
ditunggangi Ummul Mukminin ‘Aisyah. Menyaksikan hal tersebut, orang-orang
munafik pun menyebarkan desas-desus sehingga orang-orang yang hatinya
berpenyakit turut menyebarkannya. Fitnah ini semakin memanas hingga sanggup
menjerat (menyesatkan) sebagian umat Islam.
Keadaan semakin
parah karena wahyu tidak kunjung turun, padahal denganya akan binasa orang yang
binasa melalui bukti jelas dan akan hidup (juga) orang yang hidup dengan bukti
yang nyata. Benar , orang-orang munafik berhasil menjalankan aksinya saat itu,
senjata mereka benar-benar beracun, dan mereka yakin bahwa tuduhan itu akan
berujung pada kebinasaan ‘Aisyah.
Akan tetapi,
Allah berkehendak lain dan menyelamatkan umat Islam, terbukti dengan
diturunkannya wahyu dari-Nya, Yang Maha mengetahui semua rahasia. Alhasil,
terbebaslah ‘Aisyah رضي الله عنها ash-Shiddiqah binti Abu Bakar ash-Siddiq
melalui ayat yang diturunkan dari atas langit ketujuh, yang akan terus dibaca
oleh umat Islam di masjid-masjid mereka, sampai Allah mewarisi bumi dengan
segala isinya.
Demikian
gambaran singkat peristiwa tuduhan keji itu. Para ulama dan cendekiawan Islam
berlomba-lomba membantah tuduhan musuh-musuh Islam ini dengan dalil naqli dan
‘aqli. Semua kitab sejarah, baik yang ditulis sekarang atau sebelumnya, penuh
dengan bantahan terhadap tuduhan tersebut. Penulisnyapun berharap mendapatkan
pahala dari sisi Allah karena telah membela kehormatan Rasulullah صلّى الله
عليه و سلّم dan isteri-isteri beliau,
Ummahatul Mukminin yang suci.
Namun, bukan di
sini tempatnya untuk memaparkan bantahan para ulama tersebut. Adapun dalil pertama
dan terkuat bagi setiap Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir adalah
turunnya wahyu yang membebaskan ‘Aisyah ash-Shiddiqah رضي الله عنها.
Cukuplah bagi kaum Muslimin dengan turunnya ayat ini, sebagai bantahan terhadap
tuduhan dusta itu.
Para ulama Ahlus
Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa orang yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها
dengan sesuatu yang Allah telah membebaskannya dari perbuatan tersebut atau
menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها dengan tuduhan orang-orang munafik dahulu,
sebagaimana dilakukan orang-orang Syi’ah Rafidhah pada zaman sekarang, adalah
kafir. Ia telah mendustakan apa yang disebutkan Allah dalam
Kitab-Nya, yang secara tegas mengabarkan pembebasan dan kesucian ‘Aisyah رضي
الله عنها dari semua tuduhan tersebut. Bahkan, para ulama mengatakan bahwa
orang semacam ini wajib dibunuh.
Saya akan
menurunkan beberapa dalil atas hal ini:
1.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata saat menafsirkan firman Allah yang artinya:
“Sungguh,
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman
(dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan akhirat, dan mereka akan
mendapat azab yang besar.” (QS. An-Nuur: 23): “Seluruh
ulama sepakat bahwa orang yang mencela dan menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها dengan
tuduhan yang disebutkan dalam ayat ini, telah kafir dan menentang al-Qur’an.”
2.
Imam Ibnul Qayyim menyebutkan kesepakatan umat Islam atas kafirnya orang yang
menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها berbuat zina: “’Aisyah رضي الله عنها adalah orang
yang paling dicintai Rasulullah. Telah turun pula pembebasannya dari langit.
Umat Islam pun telah sepakat atas kekufuran orang yang menuduh beliau berbuat
zina.”
3.
Imam az-Zarkasyi berkata: “Siapa saja yang menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها
berbuat zina adalah kafir, karena al-Qur’an dengan sangat jelas, telah
membebaskannya.”
4.
Imam Malik berpendapat bahwa orang yang menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها berzina
harus dibunuh karena dia telah menyalahi al-Qur’an. Sebab, siapa yang menyalahi
al-Qur’an pantas dibunuh karena berani mendustakannya.
5.
Imam al-Qurthubi berkata saat menafsirkan firman Allah yang artinya:
“Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya
…” (QS. An-Nuur: 17): “Maksudnya ialah menuduh ‘Aisyah رضي الله عنها. Perbuatan
yang demikian bisa menyakiti Rasulullah dari segi kehormatan diri dan
keluarganya, bahkan orang yang melakukannya akan menjadi kafir.
Hisyam bin ‘Amr
berkata: “Aku mendengar Imam Malik berpendapat bahwa siapa saja yang mencela
Abu Bakar dan ‘Umar harus diberi pelajaran, sedangkan siapa saja yang mencela
‘Aisyah رضي الله عنها harus dibunuh, karena Allah berfirman yang artinya:
“Allah
memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang beriman.” (QS.
An-Nuur: 17)
Jadi, siapa yang
mencela ‘Aisyah رضي الله عنها berarti sama saja telah menentang al-Qur’an,
sedangkan orang yang menentang al-Qur’an harus dibunuh.”
6.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Mengenai orang yang mencela para isteri
Rasulullah, al-Qadhi Abu Ya’la berpendapat: ‘Siapa saya yang mencela ‘Aisyah
رضي الله عنها dengan sesuatu yang Allah telah membebaskannya darinya, telah
kafir, tanpa ada perselisihan pendapat di kalangan ulama. Lebih dari seorang
ulama yang menegaskan adanya ijma’ ulama dalam hal ini. Lebih dari seorang imam
pula yang secara jelas menetapkan hukum ini.”
7.
Ibnu Abi Musa berkata: “Barang siapa yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dengan
sesuatu yang beliau telah dibebaskan Allah darinya, maka dia telah keluar dari
agama. Maka tidak sah pernikahannya dengan wanita Muslimah.”
Ucapan
yang dikutip dari para ulama ini sangatlah sedikit jika dibandingkan dengan
pernyataan yang ada dalam kitab-kitab fiqih, aqidah, dan tafsir. Semuanya
membantah orang yang mencela ‘Aisyah رضي الله عنها dari kalangan Rafidhah dan
para pengikut mereka. Para ulama juga telah menetapkan bahwa orang yang
melakukannya telah kafir karena mendustakan apa yang Allah kabarkan dalam
kitab-Nya yang mulia, yaitu tentang terbebaskan dan tersucikannya ‘Aisyah.
Tersucikannya
‘Aisyah رضي الله عنها dari tuduhan tersebut akan dipahami oleh setiap orang
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itulah yang dipahami oleh sahabat
yang mulia, Abu Ayyub al-Anshari, tatkala isterinya, Ummu Ayyub, bertanya
kepadanya: “Wahai Abu Ayyub, tidakkah engkau mendengar apa yang sedang
diperbincangkan orang-orang tentang ‘Aisyah?” Beliau menjawab: “Ya. Hal itu
hanya dusta belaka. Apakah kamu juga melakukannya, hai Ummu Ayyub?” Ia
menjawab: “Tidak, demi Allah. Aku tidak melakukannya.” Abu Ayyub berkata: ‘Demi
Allah, ‘Aisyah lebih baik daripada kamu.’”
Semoga Allah
meridhai ‘Aisyah dan Ummul Mukminin lainnya serta mengumpulkan kita ke dalam
golongan mereka di bawah bendera Rasulullah صلّى الله عليه و سلّم. Segala puji
hanya bagi Allah, Rabb sekalian alam.
(Disadur dari
Terjemahan Buku Silsilah Ummahatul Mu’minin Wad Da’wah Ila Allah, Dr. Khalid
bin Muhammad, Penerbit Pustaka Imam Syafii Jakarta)
Oleh Abu Fatimah Al Banteni
No comments:
Post a Comment