Ditulis oleh Ustadz Amru
Redaksi majalah An Najah
Pengelola annajahsolo.wordpress.com
Jika orang barat mengatakan “time is money” waktu adalah uang, maka pepatah arab mengatakan “’al-waqtu huwa al-hayâh” waktu adalah kehidupan. Ada juga yang mengatakan
الوَقْتُ كَالسَّيْفِ # فَإِنْلَمْ تَقْطَعْ قَطَعَكَ
Waktu ibarat pedang
Jika kau tidak bisa menggunakannya, maka akan memotongmu
Waktu ibarat pedang
Jika kau tidak bisa menggunakannya, maka akan memotongmu
Tiga kata mutiara ini menggambarkan akan pentingnya waktu bagi
kehidupan seseorang. Jika yang pertama menggambarkan akan pemikiran
materialistis, tetapi yang kedua dan ketiga menggambarkan arti yang
lebih penting dari sekedar uang.
Yang dimaksud dengan kehidupan adalah, waktu yang dilalui manusia
saat ia dilahirkan hingga ia wafat. Dengan definisi kehidupan seperti di
atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, seseorang yang
membiarkan waktunya berlalu sia-sia, dan lenyap begitu saja, sama
artinya ia –dengan sengaja atau tidak sengaja- telah melenyapkan
sisa-sisa masa kehidupannya. Al-Hasan al-Bashri berkata,
يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ !، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah “kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.” [ Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi ].
“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah “kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.” [ Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi ].
Sekali bahwa ketika kita menyia-nyiakan dan membuang waktu kita
tanpa hal yang berarti untuk agama dan kemaslahatan umat, maka ketika
itu juga sesungguh kita telah membunuh diri kita sendiri. Betapa waktu
itu sangat berharga dan jangan biarkan ia berlalu begitu saja.
Ulama dan Waktu
Para salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran berharga dalam menghargai waktu. Mereka adalah contoh terbaik dalam menggunakan waktu. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (223H-310H) sepanjang hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu halaman dari berbagai karangannya. Jika kita perkirakan masa kanak-kanak beliau sebelum baligh 14 tahun, maka dapat disimpulkan beliau menulis 14 halaman setiap harinya. Begitu perhatiannya beliau dengan waktu, sampai-sampai ketika sejam sebelum kematiannya beliau masih menyempatkan diri menulis suatu do`a yang baru ia dengar dari Ja`far bin Muhammad.
Ulama dan Waktu
Para salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran berharga dalam menghargai waktu. Mereka adalah contoh terbaik dalam menggunakan waktu. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (223H-310H) sepanjang hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu halaman dari berbagai karangannya. Jika kita perkirakan masa kanak-kanak beliau sebelum baligh 14 tahun, maka dapat disimpulkan beliau menulis 14 halaman setiap harinya. Begitu perhatiannya beliau dengan waktu, sampai-sampai ketika sejam sebelum kematiannya beliau masih menyempatkan diri menulis suatu do`a yang baru ia dengar dari Ja`far bin Muhammad.
Begitu pula dengan Imam Ibnu al-Qayyim yang tidak rela kehilangan
waktunya karena safar (suatu perjalanan), sehingga selama safarnya
beliau mengisinya dengan menulis hingga menghasilkan karya Zaadul
Ma`aad. Imam Nawawi yang tidur dengan bersandarkan sebuah buku yang
ditegakkan pada dagunya, begitu buku itu terjatuh maka beliau terjaga
dan kembali menggoreskan tintanya.
Majduddin Abu al-Barakat `Abdussalam, kakek dari Imam Ibnu Taimiyah,
tiap kali masuk ke kakus, beliau memerintahkan anaknya (orang tua Imam
Ibnu Taimiyah) untuk membacakan suatu kitab dengan suara keras, hingga
terdengar olehnya. Tak aneh jika sikap sang kakek ini tertular kepada
cucunya. Suatu ketika Imam Ibnu Taimiyah jatuh sakit, dokter menyarankan
agar beliau untuk sementara waktu menghentikan dulu kegiatan belajar
mengajarnya karena hal itu dikhawatirkan dapat memperparah kondisinya.
Berkata Imam Ibnu Taimiyah kepada dokternya, “bukankah jika jiwa yang
bahagia dan gembira dapat memperkuat daya tahan tubuh”, sang dokter
membenarkannya. “Maka sesungguhnya jiwaku merasa tenang jika
berinteraksi dengan ilmu, dan tubuhku terasa kuat dan hanya dengan itu
saya dapat beristirahat.”
Itulah beberapa gambaran para salaf dalam menggunakan waktunya.
Mereka tidak ingin waktu terbuang sia-sia tanpa suatu amalan yang
bermanfaat. Sekarang marilah kita bertanya pada diri kita, sudahkah kita
mengikuti jejak mereka dalam menjaga waktu ?. Berapa hadis dan ayat
yang telah kita baca dan kita hafal pada hari ini ?. Seberapakah amalan
kebaikan yang kita lakukan pada hari ini ?. Ini menjadi instropeksi pada
diri kita utuk menyusun program sehingga amalan kita dapat terarah dan
dapat dievaluasi.
Intropeksi Diri
Sudah selazimnya bagi seorang muslim untuk melakukan muhâsabah an-nafsi ‘intropeksi diri’, yaitu menghitung-hitung dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia lalui. Apa yang telah ia perbuat semasa itu, dan keuntungan apa yang peroleh, kerugian apa yang ia derita.
Sudah selazimnya bagi seorang muslim untuk melakukan muhâsabah an-nafsi ‘intropeksi diri’, yaitu menghitung-hitung dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia lalui. Apa yang telah ia perbuat semasa itu, dan keuntungan apa yang peroleh, kerugian apa yang ia derita.
Sebagaimana yang dilakukan oleh seorang bisnisman yang menginginkan
kesuksesan dengan modalnya pada setiap tahunnya, ia menghitung-hitung
kembali perdagangannya, berapa modal yang telah ia keluarkan, berapa
pemasukannya, di mana ia mengalami kerugian dan apa masalahnya, dan di
mana keuntungannya, berapa besar keuntungannya dari pada kerugiannya,
ketika kerugiannya lebih besar dari pada keuntungannya maka ia menjadi
sangat menyesal sekali dan mengalami kesedihan yang luar biasa, dan
sebaiknya ketika keuntungannya lebih besar dari pada kerugiannya maka
ia merasa senang dan bergembira sekali, untuk selanjutnya ia melakukan
kalkulasi bisnisnya kembali, memenag dan membuat schedule untuk tahun
berikutnya.
Yang demikian itu pada urusan duniawi, begitu concern nya dan sangat
telitinya ia dalam urusan dunia ini, bagaimana dengan urusan akhirat ?.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً { سورة النساء: 77 }
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan anda tidak akan dianiaya sedikitpun.”(QS. An-Nisaa:77)
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلُُ وَاْلأَخِرَةُ خَيْرُُ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً { سورة النساء: 77 }
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan anda tidak akan dianiaya sedikitpun.”(QS. An-Nisaa:77)
Karena itu muhasabatunnafsi merupakan suatu keharusan. Seandainya
tidak sanggup setiap hari untuk instropeksi atau menghitungkan dirinya
hendaklah dilakukan pada setiap pekan. Jika setiap pekan ia masih juga
tak dapat melakukannya, hendaklah setiap bulan. Dan kalau tidak bisa
juga maka hendaklah ia melakukan instropeksi diri pada setiap tahun.
Akan tetapi semakin lama kita menunda dalam muhasabah, akan semakin lama
pula kita dalam perbaikan diri.
Gunakan waktu malam ketika hendak tidur untuk meneliti kegiatan kita
selama satu hari. Bertaubat dan bersitighfarlah jika siang hari
melakukan kesalahan. Dan rencanakan hari kemudian dengan kebaikan yang
dapat menghapus dosa pada hari yang lalu.
Optimalkan Amal
Waktu hidup manusia di dunia adalah umurnya, dan umur manusia merupakan rahasia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kualitas umur seseorang sangat menentukan posisinya di alam kehidupan berikutnya. Jika dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah maka kematiannya adalah baik baginya. Namun sebaliknya jika waktu dan umurnya dihabiskan untuk menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat hewaninya maka kematiannya merupakan petaka besar baginya.
Waktu hidup manusia di dunia adalah umurnya, dan umur manusia merupakan rahasia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kualitas umur seseorang sangat menentukan posisinya di alam kehidupan berikutnya. Jika dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah maka kematiannya adalah baik baginya. Namun sebaliknya jika waktu dan umurnya dihabiskan untuk menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat hewaninya maka kematiannya merupakan petaka besar baginya.
Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقَصَ فِيْهِ أجَلِي، وَلَمْ يَزِد فِيْهِ عَمَلِي
“Tidak ada yang lebih aku sesali, kecuali bila matahari telah terbenam maka berkuranglah masa ajalku, namun tidak bertambah sedikitpun amalanku.” (Mawaridu adh-Dham’an : 3/30).
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقَصَ فِيْهِ أجَلِي، وَلَمْ يَزِد فِيْهِ عَمَلِي
“Tidak ada yang lebih aku sesali, kecuali bila matahari telah terbenam maka berkuranglah masa ajalku, namun tidak bertambah sedikitpun amalanku.” (Mawaridu adh-Dham’an : 3/30).
Berkata Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah,
إنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلاَنِ فِيْكَ، فَاعْمَلْ فِيْهِمَا
“Sesungguhnya malam dan siang terus bekerja dalam dirimu, maka bekarjalah di dalam siang dan malammu.”
إنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلاَنِ فِيْكَ، فَاعْمَلْ فِيْهِمَا
“Sesungguhnya malam dan siang terus bekerja dalam dirimu, maka bekarjalah di dalam siang dan malammu.”
Imam Ibnul qoyyim juga mengatakan :
اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا
“Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا
“Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
Bekerjalah pada siang dan malammu, janganlah mengakhirkan pekerjaan
siang untuk dikerjakan di malam harinya, dan janganlah mengakhirkan
pekerjaan malam ke siang harinya. Janganlah pekerjaan hari ini di
akhirkankan hingga esok harinya dan janganlah pekerjaan esok karena
malas diakhirkan hingga lusanya. Jangan katakan, “Nanti akan kuamalkan,
sebentar lagi akan kukerjakan.” Karena setiap manusia akan ditanya pada
hari kiamat, mengenai umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa
mudanya untuk apa ia gunakan, tentang ilmunya sudahkah ia amalkan, dan
tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ?.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ
عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ
مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ
أَبْلاَهُ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ )
Tidak akan bergeser kedua kaki manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya tentang: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ? tentang ilmunya, sudahkan ia amalkan ? tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ? tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?. (HR. At-Tirmidzi)
Tidak akan bergeser kedua kaki manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya tentang: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ? tentang ilmunya, sudahkan ia amalkan ? tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ? tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?. (HR. At-Tirmidzi)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik, hidayah dan keberkahan-Nya dalam hidup dan umur kita. Amiin. [ amru ].
No comments:
Post a Comment