Dua orang laki-laki bersaudara. Mereka sudah yatim piatu
sejak remaja. Keduanya bekerja pada sebuah pabrik kecap.
Mereka hidup rukun, dan sama-sama tekun belajar agama.
Mereka berusaha mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin.
Untuk datang ke tempat pengajian, mereka acap kali harus
berjalan kaki untuk sampai ke rumah Sang ustadz. jaraknya sekitar 10 km dari
rumah peninggalan orangtua mereka.
Suatu ketika sang kakak berdo’a memohon rejeki untuk
membeli sebuah mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan
adiknya, bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, jabatannya naik, dia menjadi
kepercayaan sang direktur. Dan tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki.
Dia mendapatkan bonus karena omzet perusahaannya naik.
Lalu sang kakak berdo’a memohon seorang istri yang
sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan
seorang gadis yang cantik serta baik akhlaknya.
Kemudian berturut-turut sang kakak berdo’a memohon
kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan
lain-lain. Dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada
Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do’anya itu.
Sementara itu, sang Adik tidak ada perubahan sama
sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya
yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya sangat
sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, maka sang
adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji ke rumah guru mereka.
Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan
perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya. Dia dia teringat bahwa
adiknya selalu membaca selembar kertas saat dia berdo’a, menandakan adiknya
tidak pernah hafal bacaan untuk berdo’a.
Lalu
datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo’a
kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, ”Dik, sesungguh
ketidakmampuan kita menghapal quran, hadits dan bacaan doa. bisa jadi karena
hati kita kurang bersih.. “
Sang adik
mengangguk, hatinya terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak
yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya
atas nasihat itu.
Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa
sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya
sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor
hatinya sehubungan do’anya tak pernah terkabul.
Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai
dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju
pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh
adiknya yang berisi tulisan do’a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do’a untuk
guru mereka, do’a selamat dan ada kalimah di akhir do’anya: “Ya, Allah. tiada
sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu. Ampunilah aku dan kakak ku,
kabulkanlah segala do’a kakak ku. Jadikan Kakakku selalu dalam lindungan dan
cinta-Mu. Bersihkanlah hati ku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku di
dunia dan akhirat.”
Sang kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi
dadanya. Dia telah salah menilai adiknya. Tak dinyana ternyata adiknya tak
pernah sekalipun berdo’a untuk memenuhi nafsu duniawinya. Kekayaan, kemiskinan,
kebaikan, keburukan dan setiap musibah yang menimpa manusia merupakan ujian
dari Allah swt. yang diberikan kepada hambanya. Itu bukan ukuran kemuliaan atau
kehinaan seseorang. Janganlah bangga karena kekayaan dan janganlah putus asa
karena kemiskinan.
Cerita ini begitu menyentuh, semoga dapat menjadikan
hikmah bagi kita semua ...
No comments:
Post a Comment