“Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan
berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada
kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34)
Dalam istilah
ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk
jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian
Udh-hiyah
Udh-hiyah
adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut
Syarat dan
Keutamaannya
Dalil yang menunjukkan
disyariatkan menyembelih hewan qurban adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
kesepakatan para ulama.
Adapun dari
Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala: “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.”
(Al-Kautsar:2)
Adapun dalil
dari AS-Sunnah, ditunjukkan oleh sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatannya. Di antara sabda
beliau adalah hadits Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu
‘anhu: “Sesungguhnya yang pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat.
Kemudian kita pulang lalu menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat
demikian maka dia telah sesuai dengan sunnah kami, dan barangsiapa yang telah
menyembelih sebelumnya maka itu hanyalah daging yang dia persembahkan untuk
keluarganya, tidak termasuk ibadah nusuk sedikitpun.” HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Di
antara perbuatan beliau adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu: “rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor
kambing putih kehitaman yang bertanduk. Beliau sembelih sendiri dengan
tangannya. Beliau membaca basmalah, bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi
leher kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dan lafadz hadits ini milik beliau)
Adapun ijma’
ulama, dinukilkan kesepakatan ulama oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syaukani
dan Asy-Syinqithi rahimahumullah.
Adapun
keutamaan berqurban, maka dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Berqurban merupakan syi’ar-syi’ar
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana
yang telah lewat penyebutannya dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat
Al-Hajj ayat 36.
2.
Berqurban merupakan bagian dari Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan dan melaksanakannya.
Maka setiap muslim yang berqurban seyogianya mencontoh beliau dalam pelaksanaan
ibadah yang mulia ini.
3.
Berqurban termasuk ibadah yang paling
utama. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
…”“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku,
sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)’.” (Al-An’am:
162-163)
Juga
firman-Nya: “Maka dirikanlah shalat
karena Rabbmu dan sembelihlah hewan qurban.” (Al-Kautsar: 2)
Sisi
keutamaannya adalah bahwa Allah Subhanahu
wa Ta'ala dalam dua ayat di atas menggandengkan ibadah berqurban dengan
ibadah shalat yang merupakan rukun Islam kedua.
Walhasil,
shalat dan menyembelih qurban adalah ibadah paling utama yang dapat mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.”
Hukum Qurban
Dalam hal ini
para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama, wajib
bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah
(guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn
Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang
menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak
wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” Diantara
dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali
mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah & Al Hakim)
Pendapat kedua
menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas
ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang
mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas’ud Al Anshari
radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya
aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan.
Itu ku lakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu
adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabat pun yang
menyatakan bahwa qurban itu wajib.”
Dalil-dalil di
atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika
dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian
ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak
meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan
melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.”
Yakinlah…!
bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang
dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu
berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah ganti
bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah
kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari &
Muslim).
Hewan yang
Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban
hanya boleh dari kalangan Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu
onta, sapi atau kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama
menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali
dengan hewan-hewan tersebut. Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan
berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada
kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34)
Ketentuan
Kambing, Sapi & Onta
Boleh seekor
kambing qurban untuk satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota
keluarga, meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia.
Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu
yang mengatakan, “Pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing
sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (Shahih, HR. Tirmidzi).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban
untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak
menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau mengatakan: “Yaa Allah
ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak berqurban.” (Shahih, HR. Abu
Daud & Al Hakim).
Adapun yang
dimaksud: “ ... kambing hanya boleh untuk
satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang ...” adalah biaya
pengadaannya. Biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang, dst.
Seekor Sapi
dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu’anhu beliau
mengatakan, “Dahulu kami pernah bersafar
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul
Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan
untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.” (Shahih Sunan Ibnu
Majah)
Dalam masalah
pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya
urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota
keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban?
Mengadakan
arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban.
Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk
berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana
dinukil oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al
Hajj:36). Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan
agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka
menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
Sebagian ulama
lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di
antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka selayaknya
mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.”
Namun
pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena
perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang
berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami
untuk kasus orang yang keadaannya mudah dalam melunasi hutang.
Berqurban Atas
Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban
untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
-
Orang yang meninggal bukan sebagai
sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih
hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada
di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan
pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah
meninggal.
-
Berqurban khusus untuk orang yang
telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali
menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada
mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no.
1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan
ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama
Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
-
Berqurban khusus untuk orang yang
meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya
jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika
dalam rangka menunaikan wasiat si mayit.
Wallahu
a'lam.
(DS) disaring
dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment