Translate

Sunday, 1 June 2014

KEUTAMAAN BULAN SYA’BAN


               
pic:wikipedia
Bulan Sya,ban atau dalam hitungan bulan Jawa biasa disebut Ruwah. Ruwahan dalam tradisi Jawa adalah saat yang tepat bagi para anak cucu mengirimkan doa. Bulan Ruwah/ Ruh/Arwah adalah bagiannya para (ruh/arwah) leluhur. Pada bulan ini biasanya masyarakat berbondong-bondong menuju pekuburan-pekuburan atau nyadaran. Biasa juga disebut sebagai sadranan untuk mendoakan arwah nenek moyang mereka. Dalam sebuah masyarakat tertentu, tradisi ruwahan bahkan dilakukan dengan menggelar pesta tayuban dan sebagainya. Pada saat ini, para sesepuh kita juga masih ada yang menyediakan ubo rampe/sesaji/pancen. Anggapan bahwa mbah-mbah kita ”pulang” menengok anak cucu, dan pada saat itu pula segala kesukaan selama di dunia biasa disajikan untuk menyambut arwah yang “pulang” tersebut masih menjadi kebiasan.  Sebuah tradisi yang tentunya dalam Islam tidak bisa memahami konsep seperti itu. Bahkan dilarang. Sebuah kematian yang dialami oleh seseorang akan menjadi sebuah perjalanan tersendiri bagi (ruh) orang itu. Memikirkan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatan selama di dunia saja mereka (Para ruh itu)  masih harap-harap cemas. Apakah diterima atau tidak, apakah sempat memikirkan mengunjungi sanak kerabatnya di dunia? Wallahu a’lam bishowab.

                Lantas bagaimana Islam mengajarkan dalam menyambut bulan Sya’ban yang tepat ketika semua amalan-amalan di angkat ke Rabbul ‘Alamin. Sesungguhnya Rosulullah SAW telah mencontohkan bagaimana kita seharusnya menyambut bulan Sya’ban ini. Apa yang biasa dilakukan Rosulullah di bulan ini untuk menyambut bulan Romadhon yang akan datang? Di antara sikap yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin pada bulan ini adalah sebagai berikut:

1.     Menghitung bilangan hari bulan Syaban.
                Sepatutnya umat Islam menghitung bulan Sya’ban dalam rangka menyambut hadirnya tamu yang mulia yaitu bulan Ramadhan, karena bulan itu juga berjumlah 29 dan juga bisa berjumlah 30 hari, sedangkan puasa bulan Ramadhan itu dimulai saat bulan terlihat, jika bulan tidak terlihat karena tertutup awan, maka bulan Sya’ban digenapkan bilangannya menjadi 30 hari. Allah pencipta langit dan bumi telah menciptakan bulan sebagai sarana peerhitungan waktu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan perhitungannya. Satu bulan itu tidak lebihdari 30 hari.
DariAbu Hurairah, dia bercerita, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:
Artinya: “Berpuasalah karena (kalian telah) melihat (bulan), dan berbukalah karena telah melihat bulan pula. Dan jika bulan itu tertutup dari pandangan kalian, maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”(HR.Bukhari : IV/106)
Juga  dari ‘Abdullah binUmar, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat bulan dan janganlah kalian berbuka hingga kalian melihatnya dan jika bulan itu terhalang dari kalian, maka perkirakanlah ia.” (HR Bukhari: IV.102) dan Muslim:1080)

2.     Puasa sunnah bulan Sya’ban (paruh pertama)
                Telah diriwayatkan secara sahih sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari,
(Dari Aisyah dia berkata:  “Rasulullah SAW berpuasa sampai kami katakana beliau tidak pernah berbuka. Beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan satu bulan kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Syaban.”
                Sebagian ulama di antaranya Ibnul Mubarak dan selainnya telah menguatkan bahwa nabi tidak pernah menyempurnakan puasa bulan Sya’ban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Di dalam Shahihain dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Tidaklah Rasulullah SAW berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
                Diriwayatkan juga dari Usamah bin Zaid, dia berkata: Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu  bulan dari bulan-bulan yang ada, seperti puasamu di bulan Sya’ban.”
Ibnu Rajab Rahimahullah, berkata:”Puasa bulan Sya’ban lebih utama dari puasa bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah,Muharram,Rajab), dan amalan-amalan sunnah yang paling utama adalah yang terdekat dengan Ramadhan, yakni sebelum dan sesudahnya”.

3.     Bulan di mana amalan-amalan diangkat kepada Rabbul ‘Alamin.
                Inilah sebagian keutamaan dari bulan Sya’ban yaitu amalan-amalan manusia diangkat kepada Rabbul ‘Alamin, namun hendaknya janganlah karena sebab ini semata-mata kemudian kita melakukan suatu amalan tertentu, pada waktu tertentu dan yang lainnya. Padahal perkara tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana telah datang pada sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang artinya:”Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan, dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan ke Rabbul ‘Alamin. Dan saya suka untuk diangkat amalan-amalan saya sedangkan saya sedang dalam keadaan berpuasa (HR. Nasa’i)
                Di dalam hadits tersebut di atas ada sebuah dalil tentang disunahkannya untuk meghidupkan waktu di mana manusia lalai darinya dengan ketaatan. Sebagaimana sebagian salaf, mereka menyukai untuk menghidupkan antara waktu maghrib dan isya’ dengan shalat, mengkaji ilmu , sedangkan saat itu adalah waktu yang dilalaikan oleh kebanyakan orang.
                Sebagaimana juga disukai untuk dzikir kepada Allah di pasar, karena itu merupakan dzikir di tempat kelalaian di antara orang-orang lalai. Dan menghidupkan waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan yang  sarat akan faedah dan tentunya sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah SAW.Di antaranya menjadikan amalan tersebut dengan diam-diam, sedangkan menyembunyikannya itu lebih utama daripada  memberitahukan kepada orang lain, terlebih-lebih puasa, karena puasa itu merupakan rahasia antara Allah dn hambanya. Oleh karena itu dikatakan adanya tidak ada riya’.
                Sebagian kaum salaf ada yang berpuasa bertahun-tahun tetapi tidak ada seorangpun yang tahu. Mereka keluar dari rumanya menuju pasar dengan membawa bekal dua potong roti, kemudian keduanya disedekahkan padahal dia sendiri itu sedang berpuasa. Keluarganya mengira dia telah memakannya dan orang-orang dipasar menyangka bahwa dia telah makan dirumahnya. Dan kaum salaf menyukai hal-hal yang bisa untuk menyembunyikan puasanya.
                Dari Ibnu Ma’ud, dia berkata: “Jika kalian akan berpuasa maka berminyaklah (yakni, memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang beruasa).”
Pernyataan Ibnu Masud  ini diperkuat oleh perkataan Qatadah: ,”Dianjurkan bagi orang  berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan berpuasa..”

4.     Bulan yang paling dicintai Rasulullah SAW dalam berpuasa sunnah.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya.: “Bbulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Sya’ban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” (HR. Abu Dawud)
Ibnu Rajab Rahimahullah, berkata : “ Puasa di bulan Syaban lebih uatama dari puasa di bulan haram. Dan amalan sunah yang paling utama adalah dekat dengan Ramadhan sebelum dan sesudahnya.”
                Inilah sebagian hal yang harus disikapi oleh kaum muslimin dengan pasti. Seharusnya kita meneliti ulang kalau seandainya hadir di tengah kita suatu amalan-amalan yang dianggap sakral dan spesifik dan  hal itu dianggap benar oleh sebagian kaum muslimin. Seperti halnya shalat Nishfu Sya’ban, membaca doa dan surat tertentu, bahkan merayakan dengan sifat  tertentu, menyalakan api, mandi basah untuk menyambut bulan suci bahkan latihan uasa ramadhan dengan beruasa sya’ban tanpa berbuka dan yang lainnya.
Komentar sebagian salaf.
                Berkata Zaid bin Alam: Kami tidak menemukan seorangun dari sahabat kami, tidak pula fuqaha’nya, yang memedulikan malam nishfu sya’ban. Merekapun didak acuh terhadap haditsnya “makhul”’, dan mereka berendapat malam nishfu sya’ban tidak lebih uatama dibandingkan malam yang lainnya (Albaits’ala inkaril bida’wal hawadits:119)
                Akhirnya bulan Syaban juga termasuk bulan mulia, hendaknya kita mengisinya dengan memerbanyak amalan ibadah dan uasa secara khusus dalam rangka untuk melatih diri ersiapan datangnya bulan Ramadhan, hal ini sebagaimana hadits Rasulullah SAW: Saya tidak ernah melihat RasulullahSAW menyemurnakan puasa satu  bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak ernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban (HR. Bukhari dan Mislim).
Namun telah dating hadits yang lain bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:Jika bulan Syaban telah berlalu separuh, maka janganlah beruasa. (HR. Imam yang lima, Imam Ahmad mengangga munkar).”

No comments:

Post a Comment

Entri Populer

Majelis Ulama Indonesia

Radio Dakwah Syariah

Nahimunkar