Malam ini sebelum rehat.Saya bawakan Beberapa Hukum Ketika Hujan
Hayuk simaak..🙇
1. Hadits berikut (yang sengaja saya hapus awal sanadnya)
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ
بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ
بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».
Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam
yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan ‘Alaa shollu fir rihaal’
[hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, “Dulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan
malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan ‘Alaa shollu fir rihaal’
[hendaklah kalian shalat di rumah kalian].”
(HR. Muslim no. 1632)
(HR. Muslim no. 1632)
2. Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan
salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca
yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol, “Para
ulama bersepakat (ijma’) bahwa tidak mengikuti shalat berjama’ah ketika hujan
deras, malam yang gelap dan berangin kencang dan udzur (halangan) lainnya
adalah boleh.”
(Lihat Fiqh Sunnah, I/234, Maktabah Syamilah)
Apa Saja Lafadz Adzannya?
Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim bisa disimpulkan, ada
beberapa lafadz ketika kondisi hujan, dingin, berangin kencang, dan tanah yang
penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar:
1. أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ
(‘Alaa shollu fir rihaal’ artinya ‘Hendaklah shalat di rumah (kalian)’)
(‘Alaa shollu fir rihaal’ artinya ‘Hendaklah shalat di rumah (kalian)’)
2. أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ
(‘Alaa shollu fir rihaal’ artinya ‘Hendaklah shalat di rumah kalian’)
(‘Alaa shollu fir rihaal’ artinya ‘Hendaklah shalat di rumah kalian’)
3. صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ
(‘Sholluu fii buyutikum’ artinya ‘Sholatlah di rumah kalian’)
(‘Sholluu fii buyutikum’ artinya ‘Sholatlah di rumah kalian’)
4. Dimanakah Letak Lafadz ‘Ala Shollu Fii Buyuthikum’?
Letak ketiga lafadz di atas bisa di tengah adzan (menggantikan lafadz ‘hayya
‘alash sholah’) atau pun di akhir adzan.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu, beliau mengucapkan ‘Alaa shollu fii rihalikum’ di tengah adzan. Dan
dalam hadits Ibnu Umar, beliau mengucapkan lafadz ini di akhir adzannya. Dan
dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i
-rahimahullah- dalam kitab Al Umm pada Bab Adzan,
begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas sahabat kami (ulama-ulama
Syafi’iyyah, pen). Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di
tengah-tengah adzan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi,
sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada. Di
antara sahabat kami (ulama syafi’iyyah, pen) yang mengatakan bahwa lafadz ini
tidak boleh diucapkan kecuali setelah adzan. Pendapat seperti ini lemah karena
bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas yang jelas-jelas tegas. Dan tidak ada
pertentangan antara hadits Ibnu Abbas dan hadits Ibnu Umar. Karena hadits yang
satu dilakukan pada satu waktu dan hadits lain pada waktu lainnya.
Kesimpulannya kedua cara ini benar.”
(Lihat Syarh Shohih Muslim, 3/7, Maktabah Syamilah)
5. Jama’ Shalat Ketika Hujan
Imam Malik dalam Al Muwatho’ mengatakan dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar,
apabila para amir (imam shalat, ed) menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika
hujan, beliau menjama’ bersama mereka. (Dikatakan Shohih oleh Syaikh Al Albani.
Lihat Mukhtashor Irwa’il Gholil, hadits no. 583)
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara
jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.”
Beliau juga berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat
Dzuhur dan Ashar begitu juga Maghrib dan Isya di Madinah bukan dalam keadaan
takut maupun hujan.”
Hal ini menandakan bahwa jama’ ketika hujan sudah ma’ruf (dikenal) di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya tidak demikian, maka tidak ada
faedah meniadakan hujan seperti sebab menjama’ shalat. (Lihat Al Wajiz fii
Fiqhis Sunnah, hal. 136, Dar Ibnu Rojab)
Catatan: Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengqoshor
shalat dalam keadaan hujan, yang dibolehkan adalah hanya menjama’ saja kalau
kondisinya adalah mukim (bukan safar). Mengqoshor shalat merupakan keringanan
ketika safar saja. Wallahu waliyyut taufiq.” (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz,
12/236)
6. Tidak Boleh Bermudah-mudahan untuk Menjama’ Shalat Ketika Hujan
Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu telah menyatakan,
(ثَلَاثٌ مِنَ الكَبَائِرِ: الجَمْعُ بَيْنَ صَلَّاتَيْنِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ،
وَالنَّهْبِ، وَالفِرَارِ مِنَ الزَحْفِ )
“Tiga perkara yang termasuk dosa besar: [1] Menjama’ dua shalat tanpa ada
udzur (alasan), [2] Merampok, dan [3] Lari dari pertempuran.”
Dan sebagian orang menganggap remeh masalah ini, mereka malah menjama’
shalat Dzuhur dan Ashar serta shalat Maghrib dan Isya tanpa ada udzur. Imam
Muslim berkata dalam kitab shohihnya (dari Ibnu Abbas, pen), “Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib
dan Isya di Madinah bukan karena hujan atau bukan dalam keadaan takut.” Lalu
ada yang mengatakan (pada Ibnu Abbas, pen), “Apa yang Rasulullah inginkan dari
hal ini?” Beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin
menyulitkan umatnya.” Jika kita betul-betul memperhatikan hadits ini akan jelas
bahwa apabila hanya sekedar hujan, bukan merupakan alasan untuk menjama’
shalat, bahkan ini tidak termasuk udzur (alasan) sampai seseorang mendapatkan
kesulitan ketika tidak menjama’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan
mengenai hadits Ibnu Abbas ini, “Jama’ yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lakukan adalah untuk menghilangkan kesulitan dari umatnya. Jama’
diperbolehkan apabila ketika tidak menjama’ akan mendapatkan kesulitan padahal
Allah telah menghilangkan kesulitan dari umat-Nya.” Berdasarkan penjelasan Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah maka
jelaslah bahwa tidak boleh seseorang menjama’ shalat hingga mendapatkan
kesulitan kalau tidak menjama’nya.
7. Ukuran Hujan yang Memperbolehkan Jama’
Dikatakan Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni, 2/375, “Hujan yang dibolehkan
seseorang menjama’ shalat adalah yang membasahi pakaian dan menimbulkan
kesulitan ketika keluar pada saat hujan. Adapun hujan gerimis (rintik-rintik)
yang tidak membasahi pakaian maka tidak dibolehkan untuk menjama’ shalat.
Adapun semata-mata jalan yang berlumpur (karena sebelumnya telah turun hujan,
ed), maka terdapat perselisihan dalam ulama mazhab (Hambali, pen) dan di antara sahabat Imam (Ahmad, pen), apakah
termasuk alasan yang bisa dibenarkan untuk menjama’ shalat ataukah bukan? Yang
benar kondisi seperti ini termasuk alasan yang dibenarkan ketika memang
menimbulkan kesulitan.” (Dinukil dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin,
15/243-244, Maktabah Syamilah)
Dalam Kifayatul Akhyar, kitab fiqh bermazhab Syafi’i (1/117-118, Dar al
Fikr) disebutkan, “Orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’
shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’
dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat
bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena
kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika
shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana
akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya
menurut Ar Rafii dan An Nawawi. Namun yang benar meski hujan tidak terlalu
deras asalkan membasahi pakaian. Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat tambahan
yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga
menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah.
Sebagaimana dibolehkan menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar karena hujan,
juga dibolehkan menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar”. [ed]
Syaikh Al Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanyakan, “Apabila langit
mendung namun hujan belum turun, jalan-jalan juga tidak berlumpur, akan tetapi
hujan diharapkan (diperkirakan) terjadi, bolehkah menjama’ shalat?” Syaikh
rahimahullah menjawab, “Tidak boleh menjama’ dalam kondisi seperti ini karena
sesuatu yang hanya perkiraan adalah sesuatu yang belum pasti terjadi. Dan
betapa banyak perkiraan manusia akan terjadi hujan dengan semakin tebalnya
awan, ternyata awan menghilang dan tidak jadi turun hujan.” (Dinukil dari
Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin, 15/244, Maktabah Syamilah)
8. Ketika Jama': Adzan Cukup Sekali, Iqomah 2x
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ
أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ
فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ
فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى
الْعِشَاءَ
“Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang
Khondaq hingga malam hari telah sangat gelabp Kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk adzan. Kemudian Bilal iqomah dan
beliau menunaikan shalat Dzuhur. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan
shalat Ashar. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Maghrib. Dan
kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Isya.”
(HR. An Nasa’i. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dho’if Sunan An Nasa’i)
9. Ingat! Jama’nya adalah dengan Imam di Masjid, Bukan di Rumah
Dari Fatawal Lajnah no. 4554 terdapat pertanyaan, “Apa hukum menjama’ shalat
di rumah ketika hujan atau cuaca dingin apabila kami adalah jama’ah? Yang kami
ketahui bahwa jama’ hanya di masjid bukan di rumah.”
Jawab: “Yang dibolehkan adalah para jama’ah masjid menjama’ apabila
mendapatkan sesuatu yang membolehkan untuk menjama’ (seperti hujan, pen) untuk
memperoleh pahala shalat berjama’ah dan untuk memberi kemudahan bagi banyak orang. Hal ini berdasarkan hadits yang
shohih. Adapun menjama’ dengan berjama’ah di suatu rumah karena ada udzur yang
telah disebutkan maka tidak diperbolehkan. Karena tidak adanya dalil dalam
syari’at yang suci ini dan tidak adanya udzur yang menyebabkan boleh untuk
menjama’ shalat. Wa billahit taufiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa
alihi wa shohbihi wa sallam.” (Lihat Fatawal Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil
‘Ilmiyyah wal Iftaa’, 10/113, Maktabah Syamilah)
10. Boleh Untuk Tidak Shalat Jum’at
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, “Apabila
engkau mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ‘Hayya ‘alash sholaah’. Tetapi
ucapkanlah ‘Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian].” Lalu perawi
mengatakan, “Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut.”
Lalu Ibnu Abbas mengatakan, “Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah
melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban.
Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di
tanah yang penuh lumpur.” (HR Muslim no 1637)
Dari hadits Ibnu Abbas ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat
Jum’at ketika hujan. An Nawawi berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل عَلَى سُقُوط الْجُمُعَة بِعُذْرِ الْمَطَر
وَنَحْوه ، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب آخَرِينَ ، وَعَنْ مَالِك رَحِمَهُ اللَّه
تَعَالَى خِلَافه . وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ .
“Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at
karena udzur (halangan) hujan dan semacamnya. Dan inilah pendapat madzhab kami
(Syafi’iyyah, pen) dan madzhab lainnya. Dan yang menyelisihi pendapat ini
adalah Imam Malik rahimahullah. Wallahu ta’ala a’lam bish showab.”
(Lihat Syarh Shohih Muslim, 3/8, Maktabah Syamilah)
11. Bolehkah Menjama’ Shalat Jum’at dan Ashar?
Syaikh Ibnu Baz pernah ditanyakan mengenai hal ini di majelis beliau di
Riyadh. Beliau mengatakan bahwa tidak boleh menjama’ shalat Ashar dan shalat
Jum’at ketika hujan atau alasan lainnya. Karena yang demikian tidak terdapat
dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabat
sebatas yang kami ketahui. Karena Shalat Jum’at tidak boleh diqiyaskan dengan shalat
Dzuhur. Dan Shalat Jum’at adalah ibadah tersendiri.
Ibadah adalah tauqifiyyah, tidak boleh membuat perkara baru dengan hanya
sekedar berlandaskan pada akal. Semoga Allah memberikan kita taufik dalam
memahami agama ini dan istiqomah di atasnya. Innahu sami’un qoriib.
(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/249, Maktabah Syamilah)
12. Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah Ta’khir ?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan: “Yang lebih utama adalah
melakukannya dengan jamak taqdim (di waktu sholat yang pertama/maghrib lebih
dahulu -pent); karena yang demikian itu lebih mencerminkan sikap lemah lembut
kepada manusia, karena itulah anda akan jumpai bahwa orang-orang semuanya pada
saat hujan turun tidak melakukan jamak kecuali dengan cara jamak taqdim.”
(Syarhul Mumti’ halaman 563)
13. Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah Sholat ‘Isyak ?
Memang apabila di awal pelaksanaan sholat ‘Isyak yang dijamak disyaratkan
keadaan masih hujan, adapun apabila sholat ‘Isyak sudah dilakukan kemudian di
tengah-tengah tiba-tiba hujan berhenti maka tidaklah disyaratkan hal itu terus
menerus ada sampai selesainya sholat yang kedua (‘Isyak). Demikian pula berlaku
untuk sebab yang lainnya. Misalnya apabila ada seseorang yang karena sakitnya
terpaksa harus menjamak sholat kemudian tiba-tiba
di tengah sholatnya sakit yang dideritanya menjadi hilang maka jamak yang
dilakukannya tidak menjadi batal; karena keberadaan udzur secara terus menerus
hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan
(Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 574)
14. Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?
Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak ini adalah tidak boleh ada jeda
waktu panjang yang memisahkan antara keduanya, sehingga harus dikerjakan secara
berturut-turut. Meskipun dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rohimahulloh tidak mempersyaratkan demikian, dan pendapat beliau cukup kuat.
Namun yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak apabila tidak
bersambung/berurutan langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan (menurut yang mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran
lamanya iqomah dikumandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat
‘Isyak -pent) atau seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.
Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya kalau seandainya ada orang yang
sesudah sholat Maghrib justeru mengerjakan sholat sunnah rowatib (ba’diyah
maghrib) maka tidak ada lagi sholat jamak yang bisa dilakukannya karena ketika
itu dia telah menjadikan sholat yang dilakukannya tadi (sunnah rowatib) sebagai
pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan ‘Isyak)
(Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 567-569)
15. Larangan jama di musim hujan
Syeikh Dr Abdullah al Sulmi mengatakan, “Jika alasan untuk menjamak shalat
itu berlangsung terus menerus maka tidak boleh menjamak shalat, semisal negeri
yang mengalami hujan setiap hari semisal orang yang tinggal di daerah dekat
dengan garis katulistiwa atau orang yang tinggal di daerah tropis setiap saat
mereka mengalami hujan sehingga hujan bagi mereka adalah suatu yang wajar.
Akankah kita katakana kepada mereka hendaknya
kalian selalu menjamak shalat karena hujan?
Jawabannya tentu saja tidak karena hal ini bisa mendorong terjadinya
perubahan shalat dari waktunya yang baku.
Oleh karena itu ada perbedaan besar antara udzur yang terus menerus dan
udzur yang terjadi hanya sesekali, kesulitan yang wajar dan kesulitan yang
tidak wajar.
Orang yang tinggal di suatu tempat yang setiap hari mengalami hujan,
kerepotan karena alasan hujan itu tergolong kesulitan yang wajar ataukah
kesulitan yang tidak wajar?
Tentu saja jawabannya adalah kesulitan yang wajar sehingga karena itu mereka
tidak boleh menjamak shalat. Oleh karena itu kita jumpai mereka memiliki
pakaian tertentu yang melindungi mereka dari gangguan karena hujan. Bukankah
demikian?
Oleh karena itu mereka tidak boleh menjamak shalat karena jamak shalat
karena hujan setiap hari berakibat mengubah shalat dari waktu bakunya.
Demikian kiriman seputar #HukumSholatHujan. Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Terlebih pada diri pribadi. Semoga
Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan
amalan kita diterima di sisi-Nya. Amin
Ditunggu koreksian dan kritikannya. Wallahu ta'ala a'lam.
Jazakumullah (Dikumpulkan oleh Pujo Jati Asmoro)
No comments:
Post a Comment