Translate

Monday, 9 March 2015

Hukum Sholat Hujan

Malam ini sebelum rehat.Saya bawakan Beberapa Hukum Ketika Hujan
Hayuk simaak..🙇

1. Hadits berikut (yang sengaja saya hapus awal sanadnya)
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».
Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, “Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan ‘Alaa shollu fir rihaal’ [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].”
(HR. Muslim no. 1632)


2. Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol, “Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa tidak mengikuti shalat berjama’ah ketika hujan deras, malam yang gelap dan berangin kencang dan udzur (halangan) lainnya adalah boleh.”
(Lihat Fiqh Sunnah, I/234, Maktabah Syamilah)

Apa Saja Lafadz Adzannya?
Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim bisa disimpulkan, ada beberapa lafadz ketika kondisi hujan, dingin, berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar:
1. أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ
(‘Alaa shollu fir rihaal’ artinya ‘Hendaklah shalat di rumah (kalian)’)
2. أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ
(‘Alaa shollu fir rihaal’ artinya ‘Hendaklah shalat di rumah kalian’)
3. صَلُّوا فِى بُيُوتِكُمْ
(‘Sholluu fii buyutikum’ artinya ‘Sholatlah di rumah kalian’)

4. Dimanakah Letak Lafadz ‘Ala Shollu Fii Buyuthikum’?
Letak ketiga lafadz di atas bisa di tengah adzan (menggantikan lafadz ‘hayya ‘alash sholah’) atau pun di akhir adzan.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengucapkan ‘Alaa shollu fii rihalikum’ di tengah adzan. Dan dalam hadits Ibnu Umar, beliau mengucapkan lafadz ini di akhir adzannya. Dan dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana perkataan Imam Syafi’i -rahimahullah- dalam kitab Al Umm pada Bab Adzan, begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas sahabat kami (ulama-ulama Syafi’iyyah, pen). Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada. Di antara sahabat kami (ulama syafi’iyyah, pen) yang mengatakan bahwa lafadz ini tidak boleh diucapkan kecuali setelah adzan. Pendapat seperti ini lemah karena bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas yang jelas-jelas tegas. Dan tidak ada pertentangan antara hadits Ibnu Abbas dan hadits Ibnu Umar. Karena hadits yang satu dilakukan pada satu waktu dan hadits lain pada waktu lainnya. Kesimpulannya kedua cara ini benar.”
(Lihat Syarh Shohih Muslim, 3/7, Maktabah Syamilah)

5. Jama’ Shalat Ketika Hujan
Imam Malik dalam Al Muwatho’ mengatakan dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar, apabila para amir (imam shalat, ed) menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika hujan, beliau menjama’ bersama mereka. (Dikatakan Shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Mukhtashor Irwa’il Gholil, hadits no. 583)
Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun safar.” Beliau juga berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar begitu juga Maghrib dan Isya di Madinah bukan dalam keadaan takut maupun hujan.”
Hal ini menandakan bahwa jama’ ketika hujan sudah ma’ruf (dikenal) di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya tidak demikian, maka tidak ada faedah meniadakan hujan seperti sebab menjama’ shalat. (Lihat Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah, hal. 136, Dar Ibnu Rojab)
Catatan: Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh mengqoshor shalat dalam keadaan hujan, yang dibolehkan adalah hanya menjama’ saja kalau kondisinya adalah mukim (bukan safar). Mengqoshor shalat merupakan keringanan ketika safar saja. Wallahu waliyyut taufiq.” (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/236)

6. Tidak Boleh Bermudah-mudahan untuk Menjama’ Shalat Ketika Hujan
Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu telah menyatakan,
(ثَلَاثٌ مِنَ الكَبَائِرِ: الجَمْعُ بَيْنَ صَلَّاتَيْنِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ، وَالنَّهْبِ، وَالفِرَارِ مِنَ الزَحْفِ )
“Tiga perkara yang termasuk dosa besar: [1] Menjama’ dua shalat tanpa ada udzur (alasan), [2] Merampok, dan [3] Lari dari pertempuran.”
Dan sebagian orang menganggap remeh masalah ini, mereka malah menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar serta shalat Maghrib dan Isya tanpa ada udzur. Imam Muslim berkata dalam kitab shohihnya (dari Ibnu Abbas, pen), “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dzuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena hujan atau bukan dalam keadaan takut.” Lalu ada yang mengatakan (pada Ibnu Abbas, pen), “Apa yang Rasulullah inginkan dari hal ini?” Beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin menyulitkan umatnya.” Jika kita betul-betul memperhatikan hadits ini akan jelas bahwa apabila hanya sekedar hujan, bukan merupakan alasan untuk menjama’ shalat, bahkan ini tidak termasuk udzur (alasan) sampai seseorang mendapatkan kesulitan ketika tidak menjama’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan mengenai hadits Ibnu Abbas ini, “Jama’ yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah untuk menghilangkan kesulitan dari umatnya. Jama’ diperbolehkan apabila ketika tidak menjama’ akan mendapatkan kesulitan padahal Allah telah menghilangkan kesulitan dari umat-Nya.” Berdasarkan penjelasan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah maka jelaslah bahwa tidak boleh seseorang menjama’ shalat hingga mendapatkan kesulitan kalau tidak menjama’nya.

7. Ukuran Hujan yang Memperbolehkan Jama’
Dikatakan Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni, 2/375, “Hujan yang dibolehkan seseorang menjama’ shalat adalah yang membasahi pakaian dan menimbulkan kesulitan ketika keluar pada saat hujan. Adapun hujan gerimis (rintik-rintik) yang tidak membasahi pakaian maka tidak dibolehkan untuk menjama’ shalat. Adapun semata-mata jalan yang berlumpur (karena sebelumnya telah turun hujan, ed), maka terdapat perselisihan dalam ulama mazhab (Hambali, pen) dan di antara sahabat Imam (Ahmad, pen), apakah termasuk alasan yang bisa dibenarkan untuk menjama’ shalat ataukah bukan? Yang benar kondisi seperti ini termasuk alasan yang dibenarkan ketika memang menimbulkan kesulitan.” (Dinukil dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin, 15/243-244, Maktabah Syamilah)
Dalam Kifayatul Akhyar, kitab fiqh bermazhab Syafi’i (1/117-118, Dar al Fikr) disebutkan, “Orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya menurut Ar Rafii dan An Nawawi. Namun yang benar meski hujan tidak terlalu deras asalkan membasahi pakaian. Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah.
Sebagaimana dibolehkan menjama’ shalat Zhuhur dengan Ashar karena hujan, juga dibolehkan menjama’ shalat Jum’at dengan Ashar”. [ed]
Syaikh Al Utsaimin rahimahullah juga pernah ditanyakan, “Apabila langit mendung namun hujan belum turun, jalan-jalan juga tidak berlumpur, akan tetapi hujan diharapkan (diperkirakan) terjadi, bolehkah menjama’ shalat?” Syaikh rahimahullah menjawab, “Tidak boleh menjama’ dalam kondisi seperti ini karena sesuatu yang hanya perkiraan adalah sesuatu yang belum pasti terjadi. Dan betapa banyak perkiraan manusia akan terjadi hujan dengan semakin tebalnya awan, ternyata awan menghilang dan tidak jadi turun hujan.” (Dinukil dari Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Utsaimin, 15/244, Maktabah Syamilah)

8. Ketika Jama': Adzan Cukup Sekali, Iqomah 2x
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ
“Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khondaq hingga malam hari telah sangat gelabp Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk adzan. Kemudian Bilal iqomah dan beliau menunaikan shalat Dzuhur. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Ashar. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Maghrib. Dan kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Isya.”
(HR. An Nasa’i. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)

9. Ingat! Jama’nya adalah dengan Imam di Masjid, Bukan di Rumah
Dari Fatawal Lajnah no. 4554 terdapat pertanyaan, “Apa hukum menjama’ shalat di rumah ketika hujan atau cuaca dingin apabila kami adalah jama’ah? Yang kami ketahui bahwa jama’ hanya di masjid bukan di rumah.”
Jawab: “Yang dibolehkan adalah para jama’ah masjid menjama’ apabila mendapatkan sesuatu yang membolehkan untuk menjama’ (seperti hujan, pen) untuk memperoleh pahala shalat berjama’ah dan untuk memberi kemudahan bagi banyak orang. Hal ini berdasarkan hadits yang shohih. Adapun menjama’ dengan berjama’ah di suatu rumah karena ada udzur yang telah disebutkan maka tidak diperbolehkan. Karena tidak adanya dalil dalam syari’at yang suci ini dan tidak adanya udzur yang menyebabkan boleh untuk menjama’ shalat. Wa billahit taufiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallam.” (Lihat Fatawal Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Iftaa’, 10/113, Maktabah Syamilah)

10. Boleh Untuk Tidak Shalat Jum’at
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, “Apabila engkau mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ‘Hayya ‘alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ‘Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian].” Lalu perawi mengatakan, “Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut.” Lalu Ibnu Abbas mengatakan, “Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” (HR Muslim no 1637)
Dari hadits Ibnu Abbas ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at ketika hujan. An Nawawi berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل عَلَى سُقُوط الْجُمُعَة بِعُذْرِ الْمَطَر وَنَحْوه ، وَهُوَ مَذْهَبنَا وَمَذْهَب آخَرِينَ ، وَعَنْ مَالِك رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى خِلَافه . وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ .
“Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at karena udzur (halangan) hujan dan semacamnya. Dan inilah pendapat madzhab kami (Syafi’iyyah, pen) dan madzhab lainnya. Dan yang menyelisihi pendapat ini adalah Imam Malik rahimahullah. Wallahu ta’ala a’lam bish showab.”
(Lihat Syarh Shohih Muslim, 3/8, Maktabah Syamilah)

11. Bolehkah Menjama’ Shalat Jum’at dan Ashar?
Syaikh Ibnu Baz pernah ditanyakan mengenai hal ini di majelis beliau di Riyadh. Beliau mengatakan bahwa tidak boleh menjama’ shalat Ashar dan shalat Jum’at ketika hujan atau alasan lainnya. Karena yang demikian tidak terdapat dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para sahabat sebatas yang kami ketahui. Karena Shalat Jum’at tidak boleh diqiyaskan dengan shalat Dzuhur. Dan Shalat Jum’at adalah ibadah tersendiri. Ibadah adalah tauqifiyyah, tidak boleh membuat perkara baru dengan hanya sekedar berlandaskan pada akal. Semoga Allah memberikan kita taufik dalam memahami agama ini dan istiqomah di atasnya. Innahu sami’un qoriib.
(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/249, Maktabah Syamilah)

12. Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah Ta’khir ?
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan: “Yang lebih utama adalah melakukannya dengan jamak taqdim (di waktu sholat yang pertama/maghrib lebih dahulu -pent); karena yang demikian itu lebih mencerminkan sikap lemah lembut kepada manusia, karena itulah anda akan jumpai bahwa orang-orang semuanya pada saat hujan turun tidak melakukan jamak kecuali dengan cara jamak taqdim.”
(Syarhul Mumti’ halaman 563)

13. Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah Sholat ‘Isyak ?
Memang apabila di awal pelaksanaan sholat ‘Isyak yang dijamak disyaratkan keadaan masih hujan, adapun apabila sholat ‘Isyak sudah dilakukan kemudian di tengah-tengah tiba-tiba hujan berhenti maka tidaklah disyaratkan hal itu terus menerus ada sampai selesainya sholat yang kedua (‘Isyak). Demikian pula berlaku untuk sebab yang lainnya. Misalnya apabila ada seseorang yang karena sakitnya terpaksa harus menjamak sholat kemudian tiba-tiba di tengah sholatnya sakit yang dideritanya menjadi hilang maka jamak yang dilakukannya tidak menjadi batal; karena keberadaan udzur secara terus menerus hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan
(Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 574)

14. Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?
Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak ini adalah tidak boleh ada jeda waktu panjang yang memisahkan antara keduanya, sehingga harus dikerjakan secara berturut-turut. Meskipun dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh tidak mempersyaratkan demikian, dan pendapat beliau cukup kuat. Namun yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak apabila tidak bersambung/berurutan langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan (menurut yang mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran lamanya iqomah dikumandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat ‘Isyak -pent) atau seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.
Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya kalau seandainya ada orang yang sesudah sholat Maghrib justeru mengerjakan sholat sunnah rowatib (ba’diyah maghrib) maka tidak ada lagi sholat jamak yang bisa dilakukannya karena ketika itu dia telah menjadikan sholat yang dilakukannya tadi (sunnah rowatib) sebagai pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan ‘Isyak)
(Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 567-569)

15. Larangan jama di musim hujan
Syeikh Dr Abdullah al Sulmi mengatakan, “Jika alasan untuk menjamak shalat itu berlangsung terus menerus maka tidak boleh menjamak shalat, semisal negeri yang mengalami hujan setiap hari semisal orang yang tinggal di daerah dekat dengan garis katulistiwa atau orang yang tinggal di daerah tropis setiap saat mereka mengalami hujan sehingga hujan bagi mereka adalah suatu yang wajar. Akankah kita katakana kepada mereka hendaknya kalian selalu menjamak shalat karena hujan?
Jawabannya tentu saja tidak karena hal ini bisa mendorong terjadinya perubahan shalat dari waktunya yang baku.
Oleh karena itu ada perbedaan besar antara udzur yang terus menerus dan udzur yang terjadi hanya sesekali, kesulitan yang wajar dan kesulitan yang tidak wajar.
Orang yang tinggal di suatu tempat yang setiap hari mengalami hujan, kerepotan karena alasan hujan itu tergolong kesulitan yang wajar ataukah kesulitan yang tidak wajar?
Tentu saja jawabannya adalah kesulitan yang wajar sehingga karena itu mereka tidak boleh menjamak shalat. Oleh karena itu kita jumpai mereka memiliki pakaian tertentu yang melindungi mereka dari gangguan karena hujan. Bukankah demikian?
Oleh karena itu mereka tidak boleh menjamak shalat karena jamak shalat karena hujan setiap hari berakibat mengubah shalat dari waktu bakunya.

Demikian kiriman seputar #HukumSholatHujan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Terlebih pada diri pribadi. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Amin
Ditunggu koreksian dan kritikannya. Wallahu ta'ala a'lam.
Jazakumullah (Dikumpulkan oleh Pujo Jati Asmoro)

No comments:

Post a Comment

Entri Populer

Majelis Ulama Indonesia

Radio Dakwah Syariah

Nahimunkar