pict from kaskus.com |
Hayazid Al-Busthami, adalah
seorang Sufi dan pengajar tasawuf, diantara jama’ahnya ada seorang santri yang
mempunyai murid banyak, santri itu juga menjadi kyai bagi jama’ahnya sendiri.
Karena telah mempunyai murid, santri itu selalu berpakaian yang menunjukkan
kesalihannya, seperti baju putih, serban serta wewangian tertentu.
Suatu saat
muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan
guru, saya sudah beribadah tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam
dan berpuasa setiap hari, tapi anehnya saya belum mengalamai peristiwa ruhani
yang seperti Tuan guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apapun yang Tuan
Guru gambarkan.” Bayazid menjawab, “Sekiranya
engkau beribadah tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu
mukasyafah dalam hidupmu.” Murid itupun heran, “Mengapa ya Tuan guru?” “Karena
kau tertutup olehmu sendiri.” Jawab Bayazid. “Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap” pinta sang murid.
“Bisa” jawab Bayazid. “Tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saya
akan melakukannya.” Sanggah sang murid itu. “Baiklah kalau begitu”, kata Bayazid, “Sekarang tanggalkan pakaianmu, sebagai gantinya pakailah baju yang
lusuh, sobek dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang,
pergilah kau ke pasar, kumpulkan anak sebanyak mungkin katakan pada anak-anak
itu, Hai anak-anak, barang siapa diantara kalian yang mau menampar mukaku satu
kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangi jamaah’mu yang sering
mengagumi kamu dan memuji-muji kamu, katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku aku beri
kacang satu kantong”. “Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” Kata
murid itu terkejut. Bayazid Al-Busthami berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan orang kafir, ia berubah menjadi
mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah
dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?” Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kamu sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kamu
sedang memuji dirimu sendiri. Ketika kau katakan Tuhan Maha Suci, seakan-akan
kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.” “Kalau begitu,” murid itu kembali
meminta, “Berilah saya nasihat lain.”
Bayazid Al-Busthami menjawab, “Bukankah
aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya.”
Ceritera yang mengandung
pelajaran yang sangat berharga. Bayazid Al-Busthami mengajarkan bahwa
orang-orang yang sering beribadah mudah terkena penyakit ujub dan takabur. “Hati-hatilah dengan ujub” pesan iblis
dahulu. Iblis beribadah ribuan tahun kepada Allah SWT, tetapi karena ujubnya
kepada Adam AS, Tuhan menjatuhkan derajat iblis yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa
menjadi orang yang penting dan istimewa. Bayazid Al-Busthami, menyuruh kita
menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita adalah untuk menonjol dan
dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan
kerendah-hatian.
Hanya dengan itu kita dapat mencapai hadirat Allah SWT.
Orang-orang yang suka mengaji juga bisa jatuh kepada Ujub. Mereka merasa telah
memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari seorang datang kepada Nabi Saw, “Ya Rasulullah, aku rasa aku telah banyak
mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat ku pegang teguh.”
Nabi menjawab, “Katakanlah: Tuhanku
Allah, kemudian beristiqamahlah kamu.” Ujub sering terjadi di kalangan
orang-orang yang banyak ibadah, karena merasa ibadahnya sudah lebih dari cukup
sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan, orang
yang gemar ibadah cenderung jatuh pada perasaan tinggi hati. Ibadah dijadikan
cara untuk meningkatkan statusnya di masyarakat. Orang tu akan tersinggung
manakala tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Ia ingin disambut di
setiap majelis dan diberi tempat duduk yang utama.
Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnad-nya; suatu hari di depan Rasulullah Saw
Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang sangat rajin ibadah. Tetapi
Rasulullah Saw tidak memberikan komentar apa-apa, para sahabat keheranan,
tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian
duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi Saw,
“Itulah orang yang tadi kita bicarakan ya
Rasulullah.” Nabi hanya berkata, “Aku
lihat ada bekas sentuhan syetan di wajahnya”. Kemudian Nabi Saw mendekati
orang itu seraya beliau berkata, “Bukanlah
kalau kamu datang di suatu majelis kamu merasa kamulah yang paling salih di
majelis itu?” Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah memang begitulah aku.” Orang itu
kemudian meninggaklan majelis Nabi. Setelah itu Rasulullah Saw bertanya kepada
para sahabat, “Siapakah diantara kamu
yang mau membunuh orang itu.” “Aku” Jawab Abu Bakar.
Abu Bakar lalu pergi tapi tak
berapa lama ia kembali lagi “Ya
Rasulullah, bagaimana aku harus membunuhnya? Sedang ru’ku.” Nabi Saw tetap
bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang
itu.” Umar bin Khaththab menjawab, “Aku”.
Tetapi seperti halnya Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana aku membunuhnya seorang yang
sedang bersujud meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya, “Siapa yang akan membunuh orang itu?”
Imam Ali Bangkit, “Aku”. Ia keluar
dengan membawa pedang, namun beberapa saat ia kembali dengan pedang yang masih
bersih, tanpa noda darah sedikit pun seraya berkata, “Ia telah pergi ya Rasulullah.” Kemudian Nabi Saw bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan
pecah sepeninggalku ….” Nabi Muhammad Saw, memberikan pelajaran bagi
umatnya bahwa ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di
tengah orang Islam.
Ujub menjadi penghalang naiknya
umat islam ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanyalah satu, belajarlah
menghinakan diri sendiri, merendahkan hati kita seperti yang diajarkan dan
dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada para santri-santrinya. (ds)
wallahua’lam bishawab. Disaring dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment