MEMBANTAH TUDUHAN KHORIJ
Beberapa tahun terakhhir ini mulai nampak mulai semarak dengan muculnya kelompok yang mengklaim diri mereka dengan para pejuang tauhid dan sunnah, pemberantas syirik dan bid’ah. Dengan modal semangat yang menggebu-gebu dan ilmu seadanya mereka tegak mengaku sebagai kelompok ahlussunnah wal jama’ah, merekalah orang-orang yang tegak memperjuagkan pemahaman-pemahaman salaful ummah.
Sunngguh betapa mulia dan bernilainya kelompok tersebut seandainya mereka konsekuen dengan slogan-slogan yang mereka gembar-gemborkan di berbagai tempat dan kesempatan itu. Mereka tampil di tengah-tengah umat Islam ini dengan membawa gebrakan-gebrakan yang memukau menyerang berbagai harokah Islamiyah yang tegak memperjuangkan Islam dengan jihad dan istisyhadiyah. Dengan bermodal taqlid dan ta’assub mereka meneriakkan bahwasanya mereka yang memperjuangkan Islam dengan jihad dan istisyhadiyah ini sebagai kelompok ahlul bid’ah dan khowarij yang harus diperangi. lalu dengan tanpa malu-malu mereka mengatakan bahwasanya kamilah salafi, kamilah ahlussunnah, semua yang tidak sesuai dengan kami maka mereka adalah ahlul bid’ah. Sungguh memprihatinkan keadaan ini bagi mereka yang mempunyai sedikit pemehaman yang benar tentang Islam.
Sunngguh betapa mulia dan bernilainya kelompok tersebut seandainya mereka konsekuen dengan slogan-slogan yang mereka gembar-gemborkan di berbagai tempat dan kesempatan itu. Mereka tampil di tengah-tengah umat Islam ini dengan membawa gebrakan-gebrakan yang memukau menyerang berbagai harokah Islamiyah yang tegak memperjuangkan Islam dengan jihad dan istisyhadiyah. Dengan bermodal taqlid dan ta’assub mereka meneriakkan bahwasanya mereka yang memperjuangkan Islam dengan jihad dan istisyhadiyah ini sebagai kelompok ahlul bid’ah dan khowarij yang harus diperangi. lalu dengan tanpa malu-malu mereka mengatakan bahwasanya kamilah salafi, kamilah ahlussunnah, semua yang tidak sesuai dengan kami maka mereka adalah ahlul bid’ah. Sungguh memprihatinkan keadaan ini bagi mereka yang mempunyai sedikit pemehaman yang benar tentang Islam.
Dengan congkak dan sombong yang diwarnai dengan sikap taqlid dan ta’assubnya itu, mereka selalu menggunakan slogan-slogan menyesatkan untuk menipu orang-orang bodoh. Mereka melemparkan julukan-julukan semau mereka terhadap semua orang yang bertentanngan dengan pemahaman mereka. Si fulan Salafi sururi, ini kelompok Quthbiyah, yang itu Khowarij, ahlul bid’ah dan lain-lain. Lalu mereka dengan tanpa malu-malu mengumumkan kepada semua orang bahwasanya kamilah ahlus sunnah wal jama’ah, kamilah salafi, orang yang tidak seperti kami adalah ahlul bid’ah. Mereka menyangka bahwasanya dengan menggunakan slogan-slogan saja cukup menjadikan mereka sebagai orang yang suci. Cukup dengan mengkaim diri sebagai ahlussunnah mer eka menjadi orang yang terbaik. Padahal dalam kaidah disebutkan al-‘ibrotu bil musamma laa bil ism. Kalau kita kaji maka wajarlah mereka menggunakan slogan-slogan sebagai senjata utama karena mereka memang tidak mempunyai ilmu yang cukup untuk menerangkan kepada umat apa sebenarnya sunnah itu, apa sebenaarnya bid’ah itu.
Kalau kita menengok dalam tuliasan-tulisan mereka akan kita dapati bahwasanya kebanyakan mengatakan yang dimaksud dengan khowarij adalah orang-orang yang keluar memberontak kepada imam yang syah. Dan sungguh pengertian ini tidaklah mengandung kebenaran sedikitpun. Sesungguhnya orang yang memberontak kepada pemerintah yang syah karena takwil adalah ahlul baghyi. Memang bisa jadi mereka itu Khowarij, tapi mereka dikatakan Khoawarij bukan karena mereka memberontak kepada pemerintahan yang syah, akan tetapi mereka dikatakan Khowarij karena aqidah mereka.
B. Murtad
Pengertian
An-Nawawi berkata:“Riddah secara bahasa adalah kembali dari sesuatu menuju yang lainnya.”
Dan secara syar’I: qoth’ul Islam (melepaskan, membatalkan Islam).”Dinukil secara ringkas dari Al-Majmu’ XX/369
Hukum murtad
Dari ‘Ikrimah beliau berkata:”Dihadapkan kepada amirul mmukmini Ali % orang-orang zindiq lalu beliau membakar mereka. Lalu berita itu sampai kepada Ibnu ‘Abbas maka beliau berkata:”Kalau aku, maka aku tidak akan membakar mereka karena Rosululloh melarang hal itu dengan bersabda:
لا تعذبوا بعذاب الله
Namun aku pasti membunuh mereka karena Rosululloh & bersabda:
من بدل دينه فاقتلوه
“Barang siapa berganti aagama, maka bunuhlah ia!” (HR. Jama’ah kecuali Muslim sedangkan dalam riwayat Ibnu Majah hanya tersebut:
من بدل دينه فاقتلوه
“Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!”)
Dan dalam hadits dari Abu Musa, bahwasanya Rosululloh bersabda kepadanya:”Pergilah ke Yaman!” Kemudian diikuti oleh Mu’adz bin Jabal. Ketika berjumpa dengannya ia diberi bantal dan berkata:”Turunlah!” Dan ternyata disampingnya ada seseorang yang terikat. Ian bertanya:”Siapa ini?” ia menjawab:”orang ini dahulu Yahudi lalu masuk Islam kemudian ia masuk Yahudi.”Aku tidak akan duduk sampai ia dibunuh sebagai keputusan Alloh dan Rosul-Nya.” (Muttafaq ‘alaih)
Ar-Rofi’I dan An-Nawawi berkata:”Murtad adalah bentuk kekafiran yang paling keji dan yang paling keras hukumnya.”[2]
Orang yang murtad tidak lepas dari tiga keadaan;
Pertama mereka berada dibawah kekuasaan Islam dan tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri.
An-Nawawi berkata:”Apabila seseorang Murtad, maka wajib untuk dibunuh, baik ia berpindah ke agama ahlul kitab atau tidak, baik ia orang merdeka atau budak, atau perempuan berdasarkan hadits Utsman dia atas dan hadits Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rosululloh & bersabda: “Barang siapa berganti agama, maka bunuhlah ia!” dan ini adalah hadits shohih. Dan sama juga apakah kemurtadannya kepada kekafiran, sama asja apakah ia lahir dalam keadaan Islam atau dia dulunya kafir lalu masuk Islam atau ia menjadi Islam karena keislaman kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya.”[3]
Kedua mereka mempunyai kekuatan untuk mempertahankan diri.
Mereka ini wajib untuk diperangi, yang melarikan diri diburu dan yang terluka dibunuh. Jika mereka ada yang tertawan,maka ia disuruh bertaubat kalau tidak mau maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.”
Asy-Syarozi berkata:”Dan jika sebuah kelompok murtad dan mempertahankan diri dengan kekuatan, maka imam wajib untuk memeranginya karena Abu Bakar % telah memerangi kelompok ynag murtad. Yang kabur diburu, dan yang terluka dihabisi. Karena memerangi ahlul harbi saja wajib maka terlebih lagi memerangi kelompok yang telah murtad sedangkan kekafiran mereka lebih besar. Jika mereka ada yang tertawan,maka ia disuruh bertaubat kalau tidak mau maka ia dibunuh, karena tidak boleh membiarkannya tetap berada dalam kekafiran.” [4]
Al-Mawardi berkata:”Kondisi kedua mereka memiliki daerah sendiri yang terpisah dari wilaya kaum muslimin sehingga mereka bisa mempertahankan diri di sana. Jika kondisis mereka seperti itu maka mereka wajib diperangi kerena kemurtadan mereka setelah sebelumnya mereka diberi penjelasan tentang Islam dan dalil-dalil dipaparka kepada mereka.” [5]
‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid berkata:”Para ulama’ telah berijma’ atas wajibnya memerangi kelompok apapun yang mempunyai kekuatan yang tidak mau melaksanakan sebuah syari’at dari syari’at-syari’at Islam yang dsudah jelas dan mutawatir, meskipun kelompok tersebut adalah kelompok Islam, merkipun mereka menucapkan dua kalimat syahadat, dan sama saja apakah yang mereka tinggalkan itu sedikit maupun banyak. Jika mereka tetap mengakui atas wajibnya syari’at yang mereka tinggalkan, maka mereka diperangi sampai mereka mau melaksanakan apa yang mereka tinggalkan. Adapun menolak syari’at yang mereka tinggalkan, maka mereka telah murtad, dan mereka diperangi sampai kembali kepada syari’at Islam. Dan memerangi dua macam kelompok ini hukumnya wajib atas dasar ijma’.”[6]
Ketiga adalah penguasa yang murtad.
Mereka harus digulingkan dari kekuasaan dengan pedang, bagi yang mampu melaksanakannya ia mendapat pahala dan bagi yang memberikan toleransi, mereka mendapat dosa dan bagi yang tidak mempunyai kemampuan ia harus hijroh.
Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji berkata tentang memberontak kepada pemerintah kafir dan murtad:”Hal ini juga merupakan suatau kesepakatan para ulama’, yaitu memberontak dan menggulingkannya dengan pedang bagi siapa saja yang mampu melakukannya, adapun jika tidak mempunyai kemampuan untuk menggulingkannya dengan pedang, maka harus mencari jalan yang paling tercepat untuk menggulingkannya, dan membebaskan kaum muslimin dari kekuasaan pemerintah terseebut walaupun harus bersusah payah, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ubadah yang telah disebutkan tadi yaitu:
…. و ألا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان [ متفق عليه ]
“….. dan agar kami tidak memberontak kecuali jika melihat kekafiran nyata yang menjadi alasan di sisi Alloh.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:” Jika pemerintah melakuakan kekafiran yang nyata, maka tidak boleh mentaatinya dalam hal itu, bahkan wajib berjihad melawannya, sebagaimana yang tersebut dalam hadits ini. (Yaitu hadits Ubadah yang tersebut di atas). (Fathul Bari XIII/7)
Dan beliau berkata pada halaman yang lain:”Sesungguhnya seorang pemerintah kafir itu harus dipecat menurut ijma’. Kaum muslimin harus melakukan hal itu, barang siapa yang mampu mengerjakannya ia mendapat pahala dan bagi yang memberikan toleransi mendapatkan dosa dan bagi yang tidak mempunyai kekuatan wajib hijroh dari negeri tersebut.” (Fathul Bari XIII/123)[7]
Penyebab-penyebab kekafiran
An-Nawawi berkata:”Dan murtad itu bisa dihasilkan karena niat untuk kafir atau karena perkataan atau perbuatan. Adapun jika hal itu disebabkan oleh perkataan maka sama saja apakah orang yang mengatakan itu karena mengejek, atau menentang atau katas dasar keyakinan.”[8]
Muhammad bin Sa’id Al-Qohthoni berkata:”Adapun riddah adalah kafir setelah beriman, maka barang siapa perkataan yang mengandung kekafiran, atau melakukannya atau rela dengannya dengan atas kehendaknya (bukan karena terpaksa) maka ia telah kafir.meskkipun ia membenci dalam hatinya. Dan inilah yang dikatakan oelh para ulama’ sunnah dan hadits, dan mereka mengatakan dalam kitab-kitab;’sesungguhmya orang murtad adalah orang kafir setelah masuk Islam baik dengan perkataan atau perbuatan atau keyakinan.’ Dan mereka telah menetapkan barangsiapa mengucapkan perkataan yang mengandung kekafiran maka ia telah kafir meskipun ia tidak meyaakininya dan tidak mengerjakannya, jika ia ketika mengucapkannya bukan karena terpaksa. Dan begitu pula jika seseorang melakukan perbuatan kufur maka ia telah kafir ia tidak meyakininya dan tidak pula mengucapkannya, dan begitu pula jika ia lapang dada dengan kekafiran m eskipun ia tidak mengucapkannya dan tidak pula melakukannya. Dan hal ini sudah maklum adanya secara jela dalam kitab-kitab mereka dan barang siapa yang biasa bergaul dengan ilmu pasti ia telah mendengar sebagiannya.” (Ad-Difa’, Syaikh Hamd bin ‘Atiq hal. 28 dan lihat At-Tasyri’ Al-Jina’I II/708 dan kitab Ar-Ridah bainal amsi wal yaum hal. 33)[9]
Beliau juga mengatakan setelah memaparkan pembatal-pembatal Islam:”Dan tidak ada bedanya pada seluruh pembatal-pembatal ini antara orang yang bermain-main, yang serius dan yang takut dan yang terkecuali adalah orang yang terpaksa.” [10]
Diantara bentuk-bentuk kekafiran itu adalah sebagai berikut:
1. Berhukum dengan selain hukum Alloh
Dalil-dalilnya:
§ Alloh berfirman:
أَلَمْ تر إلى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
“ Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman pada apa yang di turunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu mereka hendak berhakim kepada thogut padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thogut itu dan syetan bermaksud untuk menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya”.(An-Nisa’: 60)
§ Alloh berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Robbmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.(An-Nisa’: 65)
§ Alloh berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tiadk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Dan barangsiapa yang tiadk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang dholim.” (Al-Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan barangsiapa yang tiadk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang fasik.” (Al-Maidah: 44)
§ Alloh berfirman:
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“ Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al Masih puta Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyemabah pada tuhan yang maha Esa, tidah ada Tuhanyang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah:31)
§ Alloh berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ {25} ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَانَزَّلَ اللهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ اْلأَمْرِ
“ Sesungguhnya orang-orang yang kembali kebelakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syetan telah menjadikan mereka mudah berbuat dosa dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah kepada mereka: kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan.” (Muhammad :25-26)
§ Alloh berfirman:
وَيَقُولُونَ ءَامَنَّا بِاللهِ وَبِالرَّسُولِ وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِّنْهُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ وَمَآ أُوْلَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ {47} وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم مُّعْرِضُونَ {48} وَإِن يَكُن لَّهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ {49} أَفِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَن يَحِيفَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ {50} إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَّقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ {51}
“ Dan mereka berkata : kami telah beriman kepada Allah dan Rosul, dan kami mentaati keduannya. Kemudian sebagian dari mereke berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil pada Allah dan Rusul-Nya , agar Rosul menghukumi diantara mereka tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tapai jika keputusan itu sesuai dengan kemaslahatan mereka, mereka datang pada Rosul dengan patuh. Apakah ketidak datangan mereka itu karena dalam hati mereka ada penyakit atau karena mereka ragu-ragu ataukah karena takut kalau-kalau Allah dan RosulNya berlaku hukum kepada mereka. Sesunnguhnya mereka itulah orang-orang yang dholim. Sesungguhnya jaaban orang-orang mukmin bila mereka dipanggil kepada Allah dan RosulNya agar Rosul menghukumi diantara mereka perkataan mereka adalah “Kami mendengar dan kami patuh” dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (An-Nuur: 47-51)
Ali bin Abil ‘Izz berkata tentang berhukum dengan selain syari’at Islam:”Disini ada masalah yang harus direnungkan, yaitu bahwasanya berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh bisa berupa kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan kasang hanya berupa maksiyat, baik dosa besar maupun dosa kecil. Dengan demikian ia berarti kufur majazi atau kufur ashghor. Hal itu disesuaikan dengan kondisi pelakunya. Apabila ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Alloh itu tidak wajib, atau ia bebas memilih, atau ia meremehkannya padahal ia yakin bahwa itu adalah hukum Alloh, maka yang demikian ini adalah kufur akbar. Namun jika ia yakin akan keharusan berhukum dengan hukum Alloh, dan ia menyadari hal itu pada peristiwa yang terjadi, lalu ia menyeleweng sedangkan ia tahu bahwa dengan demikian ia berhak mendapatkan siksa, maka orang tersebut bermaksiat. Api kalau ia tidak tahu hukum Alloh sementara ia sudah berusaha dan mengerahkan segala potensi untk mengetahui hukum Alloh, namun ia keliru maka ia dianggap bersalah, ia tetap mendapatkan satu pahala kaena ijtihadnya sedangkan kesalahannya diampuni.” [11]
Abdul Akhir Hammad dalam mengomentari perkataan diatas berkata:”Yang pelu duperhatikan juga bahwasanya pembagian seperti ini bermuara pada berhukum yang berarti al-qodlo’ (memutuskan) bukan dalam arti at-tasyri’ (mebuat undang-ndang). Karena kata hukum dalam Al-Qur’an kadang berarti al-qodlo’ sebagaimana firman Alloh:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tiadk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir.” Al-Maidah:44)
pengertian inilah yang dimaksud oleh Ali bin Abil ‘Izz ketika menjadikan berhukum kepada hukum kepada selain hukum yang telah Alloh turunkan berkisan antara kufur akbar dan kufur ashghor sesuai dengan keadaan pelakunya. Hal itu dapat kita pahami dari perkataan beliau “pada peristiwa yang terjadi “ itu artinya beliau tengah membicarakan suatu kejadian yang diselewengkan oleh hakim sehingga ia tidak memutuskannya sesuai dengan hukum Alloh.
Adapun arti yang kedua yaitu at-tasyri’ sebagaimana firman Alloh:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Alloh bagi orang-orang yang yakin.” (Al-Maidah: 50)
Ayat ini berbicara tentang hukum Alloh yang berarti syari’at dan manhaj-Nya dibandingkan dengan hukum jahiliyah yang berarti syari’at dan manhaj jahiliyah. Oleh karena itu anda dapatkan seorang mufassir seperti Ibnu Katsir ketika berbicara tentang ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tiadk berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir.” Al-Maidah:44)
Beliau membahas panjang lebar tentang perselisihan para ulama’ salaf seputar ayat ini, ditujukan kepada siapa dan apa yang dimaksud dengan kufur di sini, dan yang lain-lain. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/57-62)
Adapun ketika mentafsirkan ayat:
أ فحكم الجاهلية يبغون
Maka kita dapatkan beliau sangat mempertegas masalah ini. Beliau menetapkan bahwa menyeleweng dari syari’at Alloh kepada syari’at lain yang dibikin oleh manusia sendiri merupakan kekufuran yang pelakunya harus diperangi sampai kembali kepada ajaran Alloh.Beliau mengatakan:”Alloh mengingkari orang-orang yang menyeleweng dari hukum Alloh yang muhkam dan mencakup segala kebaikan dan larangan segala keburukan, lalu berpaling kepada kepada hukum yang lain berupa pemikiran, hawa nafsu dan segala atribut hukum buatan manusia, yang tidak berlandaskan dengan syari’at Alloh, sebagai mana hukum yang diterapkan oleh bangsa Tartar, yang diadopsi dari raja mereka, Jengkis Khan, yang membuat Ilyasa sebagai buku yang berisi kumpulan hukum yang diambil dari berbagai hukum; dari Yahudi, Nasrani, Islam dan yang lainnya, dan didalamnya juga banyak hukum yang hanya berlandaskan pemikiran dan hawa nafsu belaka, lalu jadilah ia sebagai sebuah syri’at yang diikuti dan lebih diutamakan dari pada hukum Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka siapa saja mereka yang melakukan seperti ini, ia adalah kafir yang wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Alloh dan Rosul-Nya. Sehingga tidak ada keputusan hukum baik sedikit maupun banyak kecuali dengan menggunakan hukum Alloh.” (Tafsir Ibnu Katsir II/68)
Bahkan beliau telah menyatakan ijma’ tentang kafirnya orang menjadikan silain syari’at Alloh sebagai syari’at yang dijadikan landasan hukum. Sebagaimana yang beliau nyatakan dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah sebagai sanggahan terhadap kitab Ilyasa. Beliau mengatakan:”Barangsiapa yang meninggalkan syari’at yang telah baku yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdulloh sebagai peutup para nabi lalu berhukum dengan syari’at-syari’at lain yang telah mansukh, maka ia telah kafir, lalu bagaimana halnya dengan orang yang berhukum dengan Ilyasa dan lebih mengutamakannya dari pada hukum Alloh? Orang yang melakukannya telah kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin.” (Lihat Al-Bidayah wan Nihayah XIII/119)
Dari sini jelas bagi kita keputusan yang tegas berkenaan dengan undang-undang buatan yang menyelisihi syari’at Alloh yang merasuki negara-negara Islam sehingga menjadi undang-undang yang mengikat mereka, bahwa hal itu adalah kekufuran yang tidak perlu bantahan lagi. Para muhaqqiq dari kalangan ulama’ pada masa ini menyadari hal itu sehingga mereka sehingga mereka menjelaskan hukum undang-undang tersebut dalam Islam. Diantara mereka adalah syaikh Ahmad Syakir % dalam komentar beliau mengomentari perkataan Ibnu Katsir diatas:”Sesungguhnya hukum undang-undang batan manusia itu telah jelas abagaikan matahari di siang bolong, hal itu adalah kekafirang yang nyata dan tidak ada kesamaran lagi. Tidak ada alasan lagi bagi orang yang mengaku Islam untuk mengamalkannya, tunduk kepadanya atau mengakuinya.” (Lihat ‘Umdatut Tafsir ‘anil Hafidz Ibu Katsir IV/172) [12]
Syaikh Muhammad bin Ibrohim, mufti Arab Saudi dulu, berkata:”Dan tidak mungkin Alloh menamakan orang yang berhukum dengan selain ukum Alloh sebagai orang kafir lalu orang yang melakukan hal tersebut tidak kafir. Akan tetapi sebenarnya ia tetap kafir secara mutlak baik kufur amali maupun kufur I’tiqodi………”
Beliau berkata:”Adapun yang pertama yaitu kufur I’tiqodi, dan ini bermacam-macam:
Pertama: Orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh itu menginggkari keabsahan hukum Alloh dan Rosul-Nya. Dan inilah yang dimaksud dari riwayat Ibnu Abbas dan yang dipilih Ibnu Jarir, yaitu mengingkari hukum syar’I yang diturunka Alloh, dan dalam hal ini tidak ada perselisihan antara para ulama’.
Kedua: Orang yang berhukum dengan selain hukum Alloh itu tidak mengingkari keabsahan hukum Alloh akan tetapi ia berkeyakinan bahwa selain hukum Rosululloh & lebih baik, lebih sempurna dan lebih memenuhi kebutuhan manusia sebagai pemutus perkara antara mereka ketika terjadi perslisihan, baik secara mutlak maupun hanya terbatas pada masalah-masalah baru yang muncul sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan kondisi. Seperti ini juga tidak diragukan lagi atas kekafirannya karena ia lebih mengutamakan hukum buatan makhluk yang hanya merupakan sampah-sampah otak dan kekerdilan hukum dibanding dengan hukum Alloh yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.
Ketiga: Orang tersebut tidak berkeyakinan bahwa hukum tersebut lebih baik dari pada hukum Alloh dan Rosul-Nya, akan tetapi ia berkeyakinan bahwasanya keduanya sama saja, maka seperti ini sama saja dengan dua kelompok sebelunya, ia kafir keluar dari Islam karena dengan demikian ia menyamakan antara makhluq dengan Kholiq.
Keempat: Orang tersebut tidak sampai berkeyakinan bahwa selain hukum Alloh itu sama dengan hukum Alloh dan Rosul-Nya apalagi berkeyakinan bahwasanya hukum tersebut lebih baik, akan tetapi ia berkeyaknan boleh berhukum dengan hukum yang menyelisihi hukum Alloh daRosul-Nya. O rang semacam ini sama saja dengan orang-orang sebelunya karena ia berkeyakinan bolehnya mengkuti hukum yang secara jelas bertentangan dengan nas.
Kelima: yaitu yang paling besar dan paling luas cakupan penentangannya terhadap syari’at dan paling berani menentang hukum-hukumnya. Serta permusuhannya terhadap Alloh dan Rosul-Nya juga membuat tandingan terhadap mahkamah syar’iyah baik secara persiapan, dukungan , pengawasan, penyebaran pemahaman, sekaligus menyebarkan keraguan-keraguan, pengembangan, bahkan juga pemutusan dan pemaksaan paham dengan berbagai rujukan dan referensi yang dimiliki. Sebagaimana mahkamah syar’iyah itu mempunyai rujukan dan sandaran yaitu yang semuanya berdasar kitab Allah dan sunnah Rosulullah, mahkamah mereka pun juga memiliki referensi yaitu undang-undang yang diadopsi dari berbagai ajaran, berbagai perundang-undangan seperti undang-ndang Perancis, Amerika, Inggris dan undang-undang yang lain serta dari berbagai aliran bid’ah yang mengaku berpegang terhadap syareat dan lain-lainnya. Mahkamah-mahkamah seperti ini sekarang banyak terdapat di negeri-negeri islam yang di sempurnakan, di siapkan dan terbuka bagi seluruh manusia dan banyak orang yang memanfaatkannya yang pada dasarnya adalah fatamorgana. Para hakimnya memutuskan perkara dengan hukum yang bertentangan dengan al Qur’an dan As Sunnah bahkan megesahkannya dan mengharuskan orang untk mengikutinya. Dengan demkian kekufuran apalagi yang lebih besar dari pada itu, penentangan mana yang lebih dassyat dari penentangan perbuatan merka itu terhadap persaksian bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.
Keenam: Hukum-hukum yang digunakan oleh para pemimpin suku dan kabilah yang berupa cerita dari nenek moyang mereka yang mereka namakan Sulumuhum yang mereka warisi secara turun menurun, mereka jadikan sebagai hukum lalu mereka menjadikannya sebagai hukum ketika ada perselisihan. Mereka tetap diatas hkum jahiliyan dan menolak serta benci terhadap hukum Allah dan rosulNya.
Adapun bagian yang kedua adalah kekafiran berhukum dengan selain hukum yang Alloh turunkan yang tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Diatas telah disebutkan tafsiran Ibnu Abbas terhadap firman Alloh
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan Alloh maka mereka adalah orang-orang kafir.” Al-Maidah:44)
Ayat ini mencakup pengertian bagian ini. Yaitu perkaaan beliau:”Kufrun Duna Kufrin.” Dan juga perkataan beliau:”Kekafiran di sini bukanlah kekafiran yang kalian maksudkan.” Hal itu adalah ketika ia terdorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum yangg telah Alloh turunkan, sedangkan ia tetap berkeyakinan bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya adalah benar, dan ia mengakui kesalahannya dan ia telah mengikuti hawa nafsu.”[13]
Kesimpulan.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwasanya “al-hukmu bighoiri maa anzalalloh” mengandung dua pengertian:
Pertama: Al-Qodlo’(memutuskan perkara) Pada pengertian ini para pelakunya berbeda-beda hukumnya, berkisan antara kufur akbar dan kufur ashgor (kufrun duna kufrin) sesuai dengan keadaan pelakunya. Ia akan termasuk kufur akbar yang menyebabkan dirinya keluar dari Islam jika:
1. Ia mengingkari atas kebenaran hukum Alloh dan Rosul-Nya.
2. Ia berkeyakinan bahwa hukumnya lebih baik dan lebih sempurna dari pada hukum Alloh dan Rosul-Nya.
3. Ia berkeyakinan bahwa hukumnya sama dengan hukum Alloh dan Rosul-Nya.
4. Ia berkeyakinan boleh berhukum kepada hukum yang menyelisihi hukum Alloh dan Rosul-Nya, meskipun ia yakin bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya itu lebih baik dan lebih sempurna dari pada hukum yang lain.
Dan perbuatan itu akan hanya sebagai maksiyat atau kufur ashghor atau kufrun duna kufrin jika ia yakin akan keharusan berhukum dengan hukum Alloh, dan ia menyadari hal itu pada peristiwa yang terjadi (yang ia putuskan), lalu ia menyeleweng sedangkan ia tahu bahwa dengan demikian ia berhak mendapatkan siksa. Hal itu adalah ketika ia terdorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan perkara dengan selain hukum yang telah Alloh turunkan, sedangkan ia tetap berkeyakinan bahwasanya hukum Alloh dan Rosul-Nya adalah benar, dan ia mengakui atas kesalahannya dan ia juga mengakui bahwa ia telah mengikuti hawa nafsu.
Kedua: At-Tasyri’ (membuat undang-undang). Pada penertian yang kedua ini para ulama’ telah berijma’ atas kekafiran mereka dan mereka wajib diperangi sampai mereka mau kembali kepada syari’at Islam.
[1] Dinukil secara ringkas dari Al-Majmu’ XX/369
[2] Al-‘Aziz XI/97 dan Al-Majmu’ XX/369
[3] Al-Majmu’ XX/380
[4] Almajmu’, An-Nawawi XX/391
[5] Lihat Al-Ahkam As-Sulthoniyah, Almawardi hal.
[6] Al-Qulul Qoti’ fiiman imtana’a ‘anisy syroi’, ‘Ishom Darbalah dan ‘Ashim Abdul Majid hal. 23
[7] Al-Imamatul ‘Udzma , Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji, hal.500-501
[8] Almajmu’, An-Nawawi XX/369-370
[9] Al-Wala’ wal Baro’ fil Islam, Muhammad bin Sa’id Al-Qohthoni hal. 75
[10] Ibid hal. 77
[11] Tahdzib Syarhul ‘Aqidah Ath-Thohawiyah, Abdul Akhir Hammad hal.176
[12] Ibid hal.176-177
[13] Ini adalah nukilan Abdulloh bin Umar bin Sulaiman Ad-Dumaiji dalam kitabnya Imamatul ‘Udzma hal. 103-105 adan beliau mengatakan:”Tahkimul Qoawanin tulisan Muhammad bin Ibrohim hal. 5-8 dan aku menukulnya secara panjang lebar dengan cara diringkas selama memungkinkan melihat kepentingannya dan kekuatan ilmiyahnya serta kebutuhan yang mendesak khususnya pada zaman ini.”
No comments:
Post a Comment